─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
HUTAN belantara merupakan panggung kehidupan. Sempurna dalam eksploitasi nan dibebankan secara cuma-cuma terhadap sepasang pundak ringkih yang dipaksa tegar meski enggan. Pun menawan kelabu dalam perangkap kejam dirgantara guna dilempar menuju kubangan ngeri tak berujung yang sanggup menyingkirkan akal. Batang-batang pohon lantas tumbuh tinggi tiada henti-hentinya sehingga iris menjumpai atmosfer menurun drastis sampai-sampai oksigen terlampau mengisi sesak paru-paru. Barangkali, tanah yang dikira bisa dijadikan tumpuan nyatanya berkhianat, ia justru menghisap habis sisa-sisa kewarasan. Juga teruntuk kebisingan serupa kicauan burung gagak yang memekakkan telinga.
Tiada tumpuan. Tiada pegangan. Tiada tempat menapak.
Padahal sudah diusahakan sampai mau mati. Padahal jam tidur telah digadaikan guna mendapat buah yang sangat manis. Padahal badan ringkih ini telah digempur habis-habisan agar dapat mengejar yang katanya ketertinggalan sialan itu.
Namunㅡ“Peringkat 3?”
Jeviar kedinginan dalam dunia sunyinya.
“Saingan kamu cuma bocah-bocah SMP yang bahkan orang tua mereka tidak mampu memberikan fasilitas mumpuni untuk pendidikan anaknya.” Johan melempar rapor itu seolah lembaran kertas itu tidak ada arti menuju meja, menanggalkan kacamata kemudian memiringkan kepala mendengus tidak percaya. “Kamu sudah diberi semua. Tutor pribadi, les mahal, buku-buku penunjang, fasilitas lain tapi hanya ini hasilnya? Kamu nggak bisa ngambil contoh dari Archie? Dia mampu mempertahankan peringkatnya sementara kamu bahkan nggak ada peningkatan. Ck, apa karena kamu bukan anak pertama? Harapan saya terlalu tinggi terhadap kamu. Kamu cuma bisa ngasih saya kekecewaan terus-menerus, Jeviar. Masuk ke kamar dan renungi kesalahan kamu!”
Jeviar terhempas, ratusan kaliㅡah, tidak! Dia bahkan sudah enggan menghitung jumlah goresan yang diterima akibat kalimat menusuk sang ayah. Hingga pelampiasan dari bentuk rasa sakit dan juga ketidakmampuan diri berargumen adalah mencabik-cabik semua buku tebal berisi ratusan soal yang ia kerjakan tiap hari. Rendah dirinya menjadi. Hatipun inginkan sebuah penghargaan, walau hanya berupa tepuk tangan belaka. Tak apa. Jeviar hanya butuh hasil atas kerja kerasnya.
Kenapa? Kenapa cuma dia yang gagal meraih buahnya? Mengapa hanya dia seorang yang mengecap pahit dari ketidakmampuan ini? Mengapa bukan orang lain dan harus dia?
Perjuangan menenangkan diri gagal dilakukanㅡck, peringkat satu paralel apanya, bahkan meredam amarah begini saja dia tidak bisa. Denyutan kepala semakin kejam seolah dihantam gada dan sepasang tangan itu menarik kasar tiap helai rambut. Berharap bising dalam benak mau berkurang dan ia menggenggam damai walau sejenak. Dia butuh tenang untuk beberapa waktu, sebab itu Jeviar berulang kali membenturkan dahi di meja sembari diam-diam meratapi dingin malam yang membungkus tubuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Teen FictionLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...