─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
SESUAI dengan janji yang telah di ucapkan pagi hari tadi, Johan benar-benar mewujudkan apapun permintaan Ghaitsa. Membayar semua keinginannya tanpa bertanya satu hal apa pun lagi. Bahkan ketika mereka sebelum pulang mampir terlebih dahulu ke sebuah pusat perbelanjaan pusat kota, di mana Ghaitsa sendiri tidak berani pergi ke sana seorang diri karena harga dari barang-barang yang mereka jual sungguh membuat kantongnya meringis. Ini bukan berarti Archie tidak mampu, mereka juga pernah datang kemari beberapa kali kalau-kalau barang elektronik di rumah telah mencapai umurnya, akan tetapi memang tidak sesantai Yezira saat membeli sebuah kalung seharga mobil hanya karena terlihat lucu; kala itu, Ghaitsa benar-benar di buat pening bukan main mendengarnya. Semua harus memiliki pertimbangan matang usai menilik catatan pengeluaran beberapa minggu ke belakangan.
Dengan sepotong kecil kartu persegi panjang berwarna hitam. Johan membelikan masing-masing mereka sebuah tablet keluaran terbaru. Juga komputer baru untuk masing-masing mereka, kecuali Haidden, mengingat sang kakak akan segera pergi lagi menuju Berlin, sebagai gantinya laki-laki tersebut menerima sebuah laptop. Warnanya cantik sekali. Betul-betul cantik sampai-sampai mereka tidak mampu berkata-kata apalagi menolak. Tidak sampai di sana, pria paruh baya itu menggiring mereka memasuki sebuah toko pakaian yang sang ayah bilang merupakan tempat langganan dia membeli baju sehari-hari. Iya, sehari-hari. Mereka benar-benar tidak memiliki kesempatan untuk mencegah sebab Johan tampak begitu bersemangat ketika memilihkan baju seperti apa saja yang akan cocok bagi anak-anaknya. Hingga penolakan akan ketidakenakan hati kembali mereka telan bulat-bulat ke dalam kerongkongan.
"Haidden karena kamu masih mahasiswa, baju-baju ini bakalan cocok buat kamu. Kamu juga tinggi, bajunya pasti ngebantu penampilan kamu. Jangan mau kalah sama warga lokal sana. Kamu juga keren seperti mereka."
"Kalau buat Ziel, karena kamu lebih banyak aktivitas fisik. Baju dengan bahan-bahan ini nggak akan bikin kamu gerah. Tolong keluarin semua warna dan modelnya, ya. Saya mau lihat."
"Jeviar badan kamu tegap. Ehm, apa karena masa otot kamu banyak, ya? Baju ini cocok buat kamu sepertinya. Kamu jugakan nggak banyak aktivitas luar ruangan seinget Papa. Tolong yang satu ini juga.""Archie, kamu sering rapat tenderkan? Abis ini kita liat kemeja buat kamu. Tapi baju kasual juga lagi tren sekarang. Coba kamu liat atau Papa yang pilihkan?"
"Kalau untuk Aisa, hmm ... semuanya cantik. Bagus-bagus juga. Aisa juga tinggi, mirip mamamu. Hmm, tunggu sebentar. Papa susah milih. Ah, nggak usah dipilih. Semuanya saja. Tolong bungkus dari ujung sana sampai ujung yang di sana. Cardigannya yang di atas juga, bungkus semua. Itu celana sama rok di sana, semuanya tolong bungkus. Apa ada pakaian yang baru atau akan keluar? Seingat saya, tanggal begini seharusnya sudah ada model baju baru. Kalau ada, saya beli sekarang. Anak saya harus pakai baju-baju yang cantik dan bagus."
Dalam satu gesekan, semuanya terbayar lunas.
Ghaitsa menumpukan dirinya yang mendadak lemas pada Haidden. Wajahnya masih tersurat jelas betapa tidak terbiasanya ia dengan situasi sekarang. "Ini kita beli baju atau beli kerupuk, sih? Aisa lemes liat Papa belanja. Papa kerasukan, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Teen FictionLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...