─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
KELABU mengikutsertakan kabut dalam merundung bumi dengan kesedihan pekat kali ini. Beruntung, gemuruh tidak ambil bagian untuk menakut-nakuti alam semesta nan sudah siap menampung tumpahan emosional sang cakrawala. Kendati demikian, hari tetap berjalan sebagaimana mestinya tanpa terbesit ancang-ancang libur dari pihak sekolah. Sehingga mau tak mau Ghaitsa masih harus memaksakan diri untuk terjebak di kelilingi puluhan rak menjulang tinggiㅡbarangkali hanya berbeda beberapa meter dari langit-langit ruanganㅡguna menjalani hukuman. Desahan napas berat mengudara sebal, sang gadis mendecak sebelum menggeret troli buku menuju pusat pengembalian hanya untuk nyaris memaki bersama iris melebar sempurna.Hei! Kapan tepatnya para manusia Atraxia berbondong-bondong mengembalikan buku-buku tebal nan "rupawan" kesayangan Bu Romanova itu sementara ia baru saja menaruh semua buku kembali pada raknya masing-masing?!
Demi Tuhan! Ghaitsa bisa-bisa mengalami kebotakan terorganisir jikalau terus-menerus begini. Tentu saja, memandangai angka-angka mungil pada buku panduan bukanlah pekerjaan sederhana belaka. Selain membuat sekali kepala tujuh keliling, juga kapabel memancing amarah.
Akan tetapi kala ingin menaruh buku-buku berbeda ketebalan tersebut, seseorang terlebih dahulu datang dan menyerobot antrian. Pun belum sempat melayangkan protes, sang lawan membuka mulut dengan sarat datar tanpa menaruh minat sedikitpun dalam sekilas pandangan. “Lo makan siang duluan aja, gue bisa beresin sendiri,” barangkali ia berusaha untuk tidak terdengar mengejek. “lo, 'kan, punya temen buat nungguin.”
Kerutan dahi terpatri kentara sekali menunjukkan keheranan. Ada apa dengan sikap murah hati yang sedang seorang Aubrey Fatia tampakkan ini? Mau apalagi tepatnya anak ini sekarang? Ia betul-betul tidak punya waktu guna meladeni beragam jenis permainan yang lawan suguhkan. Ghaitsa tentu enggan, dia ikut menaruh buku-buku tersebut dalam troli miliknya. “Nggak usah. Gue bisa makan nanti.”
“Pak Mardan, lo nggak akan bisa izin sama gurunya. Yakin? Perut lo, 'kan, rewel.”
Ah, sial. Benar juga. Pak Mardan dan serangkaian cerita sejarah tidak boleh di interupsi oleh apapun selain kendala yang benar-benar darurat. Cukup sekali Ghaitsa mendengar komat-kamit kemarahan sang guru ketika Haiga meminta izin ingin pergi ke toilet. Puan tersebut menggeleng penuh kengerian, merinding di posisi. Di sisi lain, melihat ekspresi lucu Ghaitsa, mau tidak mau Aubrey tidak bisa menahan kekehan geli. Dia hanya menggeleng sekilas. “Gue serius. Lo bisa duluan ke kantin, soalnya gue abis ini freeclass karena anak Bu Wanda masuk rumah sakit. Jadi beliau cuti beberapa hari. Jadi bisa makan nanti.”
Mengenai hal itu, beritanya menyebar cepat soal putra sulung Bu Wanda mengalami kecelakaan tunggal karena ulah para pembalap mobil ilegal yang menggunakan jalan seenak hati. Ghaitsa turut berduka untuk hal itu, tetapi dia tetap harus berhati-hati pada manusia di hadapannya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Teen FictionLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...