─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
AH, pagi senin memang takkan cukup ampuh untuk disematkan sebagai "pemulai" jikalau hadir guna menjumpai seraut rasa menolak percaya, bundaran mata risau kentara bersama sebalut gelap nan membingkai muka. Seolah-olah menyadari bahwa sebuah misil siap diledakkan begitu saja, mereka perlahan-lahan bergerak kaku sementara pelaku utama tampak tidak terganggu sedikitpun atas berbagai sorot mata. Anehnya, justru dia menikmati tiap-tiap respon nan dilukis begitu gamblang.“Kamu berantem dua hari yang lalu dan baru sekarang ngasih suratnya?” Artha menilik sang putri dengan sarat kurang mengerti makna tersirat yang sedang direncakan. Dia memijat pelan pelipis sebelum menambah, “Kenapa tidak dari surat ini diberikan, Aubrey?”
“Karena malam kemarin Papa baru pulang dinas dan aku nggak mau ganggu waktunya juga.”
Artha menarik napas tertahan. “Kamu bisa ngasih tau Mama, Nak.”
Serta-merta memperbaiki posisi duduk, menekan kaki dan memiringkan kepala menghadap pada Johan yang masih serius menelaah surat panggilan BK tepat di samping sang ibu, ia kemudian berujar lugas. “Aku berantem sama Ghaitsa, omong-omong.”
Praduga menjadi tegas dan nyata dalam satu waktu pembuktian. Belum satu sekon namun Johan terlebih dahulu menaikkan pandangan, membingkai kaget nan pekat sewaktu cemas menyelimuti raga. Iris yang sedang melebar itu lantas mengeluarkan pertanyaan demi pertanyaan. “Dengan Ghaitsa? Kenapa bisa? Ada sesuatu yang terjadi di antara kalian atau bagaimana? Permasalahannya Ghaitsa bukan tipe-tipe anak yang akan lepas kendali di tempat ramai begitu sajaㅡah, tidak-tidak. Artha, kamu siap-siap sekarang. Kita datang ke sekolah.” dan bergegas mencapai kamar untuk menyambar kunci mobil serta jas, kemudian kalang kabut menuju garasi mobil.
Sikap nyata Johan saat ini jelas-jelas membuat seseorang risau tak menentu, meremat tangan penuh gamang seolah-olah misil siap ditembakkan ke kepala. Ha, keringat dingin di pelipis benar-benar respon terbaik yang dia dapat dari perjuangannya tempo hari. Aubrey tersenyum miring. “Sekarang udah ngerti? Kalau kita nggak pernah menjadi "siapa" bagi orang yang Mama perjuangkan itu,” tukas sang puan getir. “Mama harus sadar. Kalau kita akan tetap kalah bila disandingkan dengan tante Aimara dan Ghaitsa.”
“Harusnya kamu bilang sama Mama, Aubrey! Mama bisa ngurus ini tanpa harus ngerepotin Papamu!”
Yang lebih muda mendengus getir, dia tentu ingin mengejek lebih lama lagi kalau-kalau seruan Johan tidak terdengar dari arah garasi. “Aku lebih suka ngeliat Mama begini.” dan berdiri untuk menepuk-nepuk pundak sang ibu. “Mulai cemas saat ingin terbangun dari mimpi. Harusnya udah mulai sadar, dong? Iya, 'kan, Mama?”
Begitulah runtutan pagi yang dijalani sebelum Johan benar-benar menekan pedal gas agar cepat sampai di Atraxia. Pria tersebut tidak banyak kata selain meminta Artha tidak terlalu ikut campur dan membiarkan dirinya membereskan kekacauan yang rampung terjadi lusa lampau. Ia abai pada ratusan atensi manusia dan memilih menerka-nerka, apa yang akan terjadi nanti?
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Teen FictionLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...