BAB 61 : Rongrongan Semesta

1.1K 192 27
                                    

─── ・ 。゚☆ :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───

PETRIKOR merupakan figuran paling di nanti ketika semua-mua manusia sibuk merebut peran utama dalam pentas semesta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


PETRIKOR merupakan figuran paling di nanti ketika semua-mua manusia sibuk merebut peran utama dalam pentas semesta. Sensasi dingin menusuk lantas mendayu raga untuk terjun bebas dalam ruang tanpa pembatas setelah diiming-imingi seteguk fatamorgana di mana katanyaduka akan memudar. Beberapa kilas detik pun tidak mengapa, selagi tirai mata mampu tertutup nyaman, mereka rela mempertaruhkan segala hal dan menampung belas kasih cakrawala. Membutakan diri dari adegan-adegan mengikis kewarasan. Menulikan telinga dari makian dunia yang berlangsung tiada bersela. Hingga benak lancang bertanya parau, mungkinkah jeda mengobati jiwa atau memperparah luka?

Hujan deras tersuguh bising mengisi rongga rungu, barangkali sekeras ini dapat mengguyur sepertiga bagian muka bumi. Sampai-sampai membuat iris bulan sabit di sana memangku tangan menyorot memuja tanpa henti apalagi terbesit sarat bosan. Kepalanya juga ikut miring diiringi lengkungan tipis mewarnai wajah. Entah terlampau menikmati atau sedang mengurai isi kepala yang kusut? Manusia manis berperawakan mungil tersebut sekala berlimpah kejutan-kejutan atas tiap tindakan. Dibanding akan apa-apa saja nan sudah dipertontonkan terhadap khalayak umum, fakta berbicara laci-laci di benak Kanaya sukar diterka dengan sekali temu.

Kendati demikian Ghaitsa sungguh sungkan mengusik damai yang membelenggu sang kawan begitu erat. Seolah-olah puan itu tengah membentengi diri dari segala macam gangguan luar. Hingga kalut menemui jalan buntu, pilihan bijak apa dalam membuka obrolan yang dimaksudkan kali ini? Pun mengira senyap senantiasa mengitari dua anak hawa itu selama waktu yang tidak dapat diperkirakan, tahu-tahu alunan teduh mengalun.

“Ghaitsa.”

Tersentak bukan main terkejut akan panggilan asing dari bibir lawan, Ghaitsa lantas segera menyahut kaku. “I-iya, baksonya bentar lagi dateng,” ia begitu rancu hingga mendadak salah tingkah begini.

Ulasan geli tergambar nyata pada sudut bibir, enggan mengalihkan pandangan dari bundaran taman mini yang entah mengapa semakin cantik mengkilap sebab pantulan lampu jalan atas daun-daun mereka yang basah kuyup. Kanaya menarik napas singkat sebelum bersuara. “Taman kecil di sana, hadirnya jelas untuk memperindah bangunan serba putih rumah sakit yang lama kelamaan di pandang bisa bosan dan sakit mata. Semua orang tau fungsinya, semua orang paham makna atas kehadirannya, tapi belum semua bisa sayang. Lihat, deh Sa! Bunga-bunga di sana harusnya tumbuh subur dan cantik demi menghibur ribuan pasien yang keluar-masuk rumah sakit, tapi sayangnya eksistensi mereka nggak dihargai.

Story Of Ghaitsa | Zoo UnitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang