─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
HIDUP dengan para manusia dramatis itu benar-benar membuat lelah badan rupanya.
Ghaitsa menghela napas berat dengan sebal."POKOKNYA PAPA NGGAK BOLEH BAWA GHAITSA LAGI! TITIK! AISA MILIK PRIBADI, NGGAK BUAT BERBAGI!" adalah kalimat sambutan bagi Johan tatkala mereka baru saja keluar dari mobil. Ghaitsa ditarik mendekat dan didekap erat-erat, seolah sang adik sudah lama tidak pulang ke rumah lantaran menjadi korban penculikan belum lama ini; memang tidak selama itu, hanya saja dua anak kembar lainnya ini benar-benar terlalu hiperbola dengan apa pun nan menyangkut sang bungsu keluarga. Yaziel menatap penuh permusuhan, begitu pula Jeviar sementara Ghaitsa berulang kali mendesah berat tidak habis pikir. "Bener! Nggak ada lagi bawa-bawa Aisa. Aisa anak rumahan. Dia lebih suka main di rumah!" timpal Jeviar, irisnya menyorot jengkel terang-terangan.
"Boong. Aisa suka main keluar rumah kok."
"AISA!"
"Berisik!" Ghaitsa menyahut setengah berteriak. Dalam satu hentakan dia lantas melepaskan diri dari jeratan dua manusia bar-bar di sana dan memilih memberi cukup ruang gerak bagi mereka semua. Archie dan Haidden sedari tadi berada di terasㅡmereka bahkan tidak sempat memberi salam pada sang ayah karena dua kembar lain telah melayangkan protes besar-besaran tanpa memperdulikan apa-apa lagi. Sementara sang ayah yang masih mencerna kata-kata dua putranya berdiri di dekat gerbang rumah. Jeviar dan Yaziel berada tengah-tengah di halaman rumah dengan Ghaitsa berdiri tak jauh dari sana. Intinya sang gadis memiliki cukup akses untuk dapat melihat lima laki-laki itu sekaligus. Dia serta-merta berkacak pinggang, menatap galak pada dua kembaran. "Kenapa sih kalian tuh lebay banget? Aisa cuma nemenin papa doang. Nggak kemana-mana. Lagian Aisa nggak pergi tiap hari juga. Cuma hari ini aja. Stop mendramatisir segala hal, deh! Kalian udah gede!"Bagai ibu yang mendengar hinaan sang malin kundang, Yaziel memegangi dadanya dengan ekspresi terluka luar biasa. "Aisa udah nggak sayang Iel lagi ternyata," ujarnya bersama suara lemah. Betulan sakit hati agaknya.
"Aduh, bukan gitu. Aisa sayang, kok."
"Kenapa pakai "kok" begitu?" Jeviar menyahut tidak suka, dia benar-benar kesal bukan kepalang. Ekspresinya bahkan kecut sekali sekarang. "Tau, deh." Laki-laki itu berbalik pergi memasuki rumah kemudian usai berkata, "Maaf udah lebay begini. Pasti lo capek jugakan nanggepin. Yaudah, nggak usah di pikirin. Kayak gue penting aja di hidup lo. Besok-besok kalau mau pergi lagi, terserah, hidup lo inikan? Suka-suka hati lo aja, deh, Ghaitsa." dan menghilang dari balik pintu yang dibanting dengan keras tersebut.
Ghaitsa mengerjap. Jeviar benar-benar marah rupanya. Setiap kali sang kembar marah, pasti pemuda tersebut akan memanggilnya dengan nama asli bukan lagi panggilan manis seperti biasanya. Sang puan lantas mengurut memejamkan mata sejenak sebelum melirik Yaziel yang terdiam. Meski ragu, dia memberanikan diri memanggil laki-laki itu sembari mendekatkan diri. Ghaitsa menggenggam pelan tangan lawan, "Iel pahamkan maksud Aisa gimana? Aisa bukannya nyepelein perasaan kalian, tapi emang nggak terduga aja perginya hari ini. Maaf, ya. Lain kali janji, Aisa bakalan bilang Iel dan Jepi dulu. Serius. Aisa sayaaang banget sama Iel. Jepi juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Teen FictionLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...