Lembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya.
Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
“HOT AND COLD!”
“Apa maksud bahasa ngana itu, hah?!”
“Meriang maksudnya.”
Memiliki misi penting untuk menjadikan kembar tiga sebagai adik ipar, Kanaya harus belajar menahan diri sejak dini agar dijuluki manusia sabar. Namun terpantau tidak ada dukungan sekitar sehinggaㅡ“Itu FEVER, bukan hot and cold, Joannanjing!” tandas si puan, darah tinggi. “Dispenser kali hot andcold.” diberi beberapa sekon sebelum menyambung keki, “Barangkali adik ipar gue, Jeviar, benar. Lo masuk sekolah nyogok, ye?!”
“Haelah, salah dikit doang pake diributin segala.” Joanna menyahut malas, dia justru menidurkan kepalanya di sisi meja usai mengibaskan tangan tidak peduli di udara. “Nggak semua manusia harus bisa bahasa inggris. Jangan mendismasi dong!”
Tanpa menoleh barang seincipun pada dua makhluk yang seringkali bersilar lidah tersebut, “Mendiskriminasi,” koreksi Jeviat seraya membalik halaman buku di pangkuan.
Senyap beberapa detik, ujung-ujungnya yang jujur saja tidak meleset dari perkiraan awal. Kanaya menodong sang kawan dengan sendok bakso. “Ternyata lo beneran nyogok! Wah, gila lo! Simpenan om-om beristri berapa lo, hah?! Sangat-sangat tidak beradab!”
“Tindakan lo sekarang juga nggak beradab, nggak beretika apalagi bermoral.” Jeviar memang sudah paling ahli dalam membuat lawan bicara sakit hati lewat rangkaian kata menusuk bukan main itu. Dia semerta-merta manikkan sebelah alis dan membubuhi senyum remeh di wajah. “Perempuan berpendidikan nggak bersikap demikian. Lo udah diblacklist dari daftar tunggu keluarga gue, bahkan dari lama. Silakan kubur mimpi nggak guna lo itu.”
Namun bukan Kanaya Meiko Prandita bila akan menyerah terhadap serangan fakta nan mematikan tersebut. Sebab komentar pedas itu malah diubah haluan menjadi bahan bakar untuk ia memanjat meja kantin danㅡ“YO, AYO! JEVIAR DIJUAL DENGAN HARGA DISKON! MASIH BOLEH NEGO, SIST! DIBELI, AYO, DIBELI JEVIAR DENGAN HARGA DISKON BISA NEGO!”
Barangkali cuma Kanaya yang mampu meluluhkan ekspresi kaku dan seram mengintimidasi Jeviar nan kapabel membuat mata terpesona. “HEH! TURUN NGGAK LO, DASAR CEWEK BARONGSAI!”
Sungguh-sungguh berisik sekali perkelahian beda gender yang telah menjadi santapan publik. Tak mengherankan lagi bagi Yezira yang sudah menancapkan bendera putih pada ubun-ubun kepala. Habis kesabaran nan mencoba dipertahankan, sang puan memilih melambaikan tangan menyerah terhadap kegilaan Kanaya. Tiada habis-habisnya. Tiada berkesudahan. Serupa tunas mungil yang dipupuk terus-menerus. Pemilik manik rubah itu mengaduk makanan tanpa selera. Dia berharap benar-benar salah lihat akan Jeviar yang mengangkat kursi guna dilempar menuju Kanaya yang masih senang mengejek.
“Ini pasti mimpi, haha.”
“Sayang sekali bukan.” Yaziel tahu-tahu menyahut sembari mendorong sebatang cokelat putih dan menambahkan lugas, “Makanan manis buat Si Manis yang lagi stres.”