─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
NETRA kecokelatan tersebut melirik tumpukan buku, lembaran demi lembaran yang tidak di ketahui isinya apa, alat tulis berserakan dan layar laptop menayangkan seseorang yang sedang menjelaskan suatu teori politik dunia. Kamar ini benar-benar berantakan. Mirip kapal pecah, hanya saja tidak ada puing-puing reruntuhan, cuma bantal serta guling tidak lagi berada di tempat yang seharusnya. Ghaitsa menghela napas berat. Telinganya mendadak berdenging kuat lantaran sinyal bahwa dia harus ekstra usaha dalam membujuk Jeviar malam ini. Berkat tingkah laku Yaziel yang terus-menerus mengajukan pertanyaan sederhana nan mampu menguras energi, "Lo masih sayang gue, 'kan?" Ghaitsa terpaksa menghabiskan lebih banyak waktu untuk membuat anak laki-laki itu anteng dan tidak lagi menuntut banyak hal agar mereka tetap bersama sepanjang malam. Sebab kini, ia harus mengajarkan misi selanjutnya.
Membujuk Jeviar.
Ya Tuhan, semoga Ghaitsa berhasil.
Ketika mereka sampai di rumah, Johan sudah pulang dan menitipkan salam belaka. Sementara menurut informasi Haidden, sulung kembar tiga tidak kunjung keluar kamar meski Archie sudah memanggil beberapa kali. Ghaitsa manggut-manggut mengerti, dia juga tidak menanyakan sesuatu tentang, mengapa mata kedua kakaknya tersebut sedikit memerah? Tidak mau ambil pusing, Ghaitsa memilih undur diri guna bersih-bersih secepat mungkin dan segera menyambangi kamar Jeviar.
Dan ya, di sinilah dia.
Berdiri di pintu dan memandang semua kekacauan yang ada di sana. Ghaitsa menelengkan kepala, melirik gundah pada Jeviar yang bahkan tidak terusik akan kehadirannya. Laki-laki tersebut sibuk mengerjakan soal kuis dari layar tablet. Hening sekali. Jeviar tidak bersuara sedikit pun, seolah volume keras dari laptop telah menggantikannya untuk berbicara selagi tangan si empu berulang kali menyobek kertas dengan perasaan dongkol; barangkali tidak senang atas hasil jawaban soal nan sedang dikerjakan.
Ghaitsa geleng-geleng kepala sejenak sebelum mulai memungut dua bantal di lantai, guling, selimut, dan tas punggung. Memastikan benda-benda tersebut kembali menuju tempat yang seharusnya. Tidak ketinggalan juga ia merapikan pakaian-pakaian nan entah bagaimana berserakan pada lemari yang terbuka. Seolah mengisyaratkan seberapa brutalnya Jeviar kala mengambil satu pasang piyama hitam legam nan kini pemuda itu kenakan. Semuanya betul-betul berantakan. Beberapa dari pakaian teronggok mengenaskan di lantai, beberapa lagi menggantung tragis di lemari. Butuh waktu cukup lama bagi Ghaitsa merapikan isi lemari sang kembaran sementara si pemilik kamar tidak kunjung buka suara.
Terlalu fokus dengan dunianya sendiri.
Kemudian, usai memastikan kamar ini layak huni, Ghaitsa perlahan mendekati Jeviar. Dia mencondongkan kepala sampai tepat berdampingan dengan kepala lawan, sampai sini lelaki itu masih enggan buka mulut hingga Ghaitsa pun melayangkan pertanyaan. "Jepi, apa nggak capek belajar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Teen FictionLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...