─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
REMBULAN tertutupi kabut kelabu pekat namun tipis membungkus, barangkali oleh karena itu sebagian bumi bisa saja mengajukan protes keras sebab tidak mendapat cahaya adil sama rata pada kelam yang semakin hanyut.
Pun, derak-derik pohon juga ambil bagian agar malam lebih kapabel lagi melancarkan kode bahaya bagi para manusia agar tak lagi berkeliaran sewaktu malam menjemput; entah dengan dasar alasan apapun. Namun faktanya, Ghaitsa masih bernaung di bawah cakrawala gelap dan mengerikan di atas sana. Memeluk lipatan kaki sembari mendongak memandangi Yang Paling Tinggi. Tidak ada bintang dan hanya berbekal remang-remang cahaya bulan. Demikianlah sang puan bertanya-tanya pada dirinya, juga semesta.
Apa malam ini akan turun hujan?
Dulu sekali, Ibu pernah bercerita pada Ghaitsa kecil ketika dia merengek ingin bermain perosotan yang baru saja di bangun pada taman komplek. Sebuah kisah yang kini dia pertanyakan asal-muasal dongengnya. Bahwa anak-anak kecil tidak diperkenankan berada di luar rumah lewat dari pukul lima sore atau mereka akan bertemu monster buruk rupa nan memiliki wajah menyeramkan yang gemar memangsa anak-anak nakal. Si kecil tidak langsung termakan bualan Ibu, dia terlampau bebal untuk menurut begitu saja. Dan tak berselang lama untuk waktu datang guna menjawab, ia menjumpai petir serta hujan deras beraroma tajam bergolak menghantam Alexzander bersaudara setiap malam, serupa badai dalam medan peperangan.
Yang membuat Ghaitsa berharap ia memiliki sayap. Besar dan kuat agar bisa mengusir kabut kelabu kurang ajar tersebut agar Ibu tidak perlu merasa cemas lagi. Agar hujan berhenti turun dengan sarat mengenaskan. Hujan … benar-benar menakutkan bagi tubuh ringkih sang puan.
Membuat gamang sekujur tubuh, soalnya.
Berkat kedatangan Haiga yang mendadak seperti bersin, Ghaitsa lupa menyertakan ponsel dalam pelarian dan berakhir termenung di taman komplek dengan posisi rebahan pada terowongan perosotan sore tadi. Sang puan tidak tahu apakah Haiga telah pulang atau belum, lantaran dia berakhir tertidur akibat diserang kantuk tak tertahankan selagi menunggu suara lintas kendaraan bermotor. Sampai-sampai rasanya tidaklah aneh bila Ghaitsa kembali menemui petir datang bersama awan kelam ketika menurunkan hujan deras teramat pada ilusi tidur, memekakkan telinga agar dia terbangun dalam was-was.
Selagi semakin hanyut memandangi sinar samar-samar rembulan, Ghaitsa mencengkeram lengan kuat-kuat karena masih terusik petir sementara ia telah sadar sedari tadi. Dia membutuhkan Yaziel sekarang tetapi berlari pulang guna mendapatkan pereda risau akan menjadi resiko besar ke depannya. Ghaitsa belum tahu bagaimana tabiat Haiga yang mendadak menjadi teman sekelas hasil dari sistem eror website Atraxia.
Decakan kasar lolos dari kedua belah bibir sang puam, air wajah keruh kentara milik Ghaitsa terlukis pekat bersama sekelumit kerutan di dahi. Sudah pasti si gadis ingin memaki-maki Haiga yang belum sadar diri lantaran bertamu sampai larut malam begini. “Beneran gue musuhin tuh, buntelan cokelat! Edan, ya! Bisa-bisanya nggak pulang-pulang dari rumah orang padahal udah mau isya begini! Bajingan emang tuh manusia nggak ada akhlak.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Roman pour AdolescentsLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...