18. Karena takdir Tuhan?

1.5K 191 19
                                    

Hallo!

Jangan lupa vote dan komen!

Kalian baca ini jam berapa?

Awas jangan emosi baca part ini!

Happy reading

Bunyi kampas rem terdengar nyaring. Seorang cowok yang mengenakan kaos putih polos yang dipadukan dengan celana jeans selutut yang mengendarai motor sport berdecak sebal. "Lo!" Cowok itu menunjuk Lia. "Lo kalau jalan harus hati-hati!" Sorot matanya menyorot tajam. "Buta mata lo?" tanyanya.

"Harusnya lo yang hati-hati bawa motornya! Gue sudah bener jalan di pinggir tapi, lo!" Lia menunjuk cowok yang berdiri di hadapannya. "Lo malah——" Ucapan Lia terpotong lantaran orang itu melepaskan helm yang dikenakannya. Jantung Lia berpacu begitu cepat, mulut gadis itu sedikit terbuka bahkan peluhnya kian bercucuran kala manik hitam miliknya menangkap objek seseorang yang pernah hadir di kehidupannya.

"El?" panggil Lia lirih.

Tangan gadis itu terangkat membelai pipi cowok yang mirip dengan Erlangga. Namun, cowok itu menepis tangan Lia. "Gak usah sok kenal!"

"Ini Lia, El," lirih Lia.

"Gue enggak kenal Lia." Cowok itu memilih untuk kembali mengenakan helm. Namun, sebelum itu dia sempat menatap Lia selama dua detik.

Jadi selama ini gue bukan halusinasi? El benar-benar masih ada di sini? Lalu, siapa yang dikubur waktu itu di pemakaman? Dia mirip El, batin Lia.

Lia mengira cowok tadi Erlangga tapi, sebenarnya orang itu bukan Erlangga. Bibir gadis itu terangkat mengulas senyuman tipis. Dia kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte. Seharusnya Lia datang ke rumah sakit nemenin Samuel tapi, Lia memilih pulang ke rumah.

"Permainan akan dimulai," gumam seseorang yang tengah menyandarkan punggung di sofa yang berada di sudut ruangan. Di hadapannya terdapat satu gelas berisi cokelat panas serta roti tawar. Tangan orang itu terangkat meraih satu gelas cokelat panas.

***
"ADUH ABANG! TOLONG KEPALA SAMUEL PUSING BANGET HUAAAAA INI EFEK BELUM LIHAT CEWEK CANTIK HUAAAAA PUSING!" Teriakkan Samuel Pradipta melengking memenuhi sudut ruangan VVIP nomor dua. Bocah berumur lima tahun itu membuat Bagas menghela napasnya pelan. "Bocil diem! Jangan berisik!"

Samuel memalingkan wajahnya ke hadapan Bagas. Bocah yang mengenakan pakaian rumah sakit melototkan bola matanya. "HEH BOCAH INGUSAN! SAMUEL BUKAN BOCIL HUAAA SAMUEL SUDAH DEWASA KENAPA DIKIRA MASIH BOCIL SIH?" Samuel mencebikkan bibirnya sebal. "Samuel sudah dewasa huaaaaa."

"Dewasa kepala lo botak, Cil!"

"IH ABANG JAHAT!" Samuel melemparkan bantal ke arah Bagas. Bantal itu berhasil mendarat sempurna mengenai wajah Bagas. "Samuel gak botak! Samuel sudah dewasa! Samuel ganteng calon buaya darat gak kaya Abang yang jelek, bau, bodoh, kentutnya keluar angin."

"Titisan setan!" celetuk Bagas.

"Abang galak banget ih! Pantas saja enggak ada cewek yang mau jadi pacar Abang," ujar Samuel.

"Gue baik. Hanya orang beruntung yang bisa dapetin hati gue! Gue bukan gak laku tapi—"

"Enggak ada yang mau." Samuel tergelak kala melihat ekspresi seorang Bagas yang seperti ingin menerkam mangsa saat itu juga. "Mati lo!" ketus Bagas.

Lia melangkah memasuki rumah. Namun, langkahnya terhenti kala seseorang mencegatnya.

"Kak Lia apa kabar? Enak gak jadi anak kost? Pasti makannya itu cuma telor, mie sama—"

A&B | Kita Belum Usai [Ending]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang