Seorang cowok menepuk pundak Bagas. Sudut bibir Erland terangkat mengulas senyuman tipis. Cowok itu menyerahkan satu kertas origami warna merah muda.
'perjuangkan sebelum semuanya benar-benar berakhir'
"Ini dari lo?" tanya Bagas.
"Ngapain gue bikin begitu." Erland memutar bola matanya malas. Sejujurnya dia juga bingung sebenarnya siapa yang naruh kertas itu di meja Bagas? "Mungkin pengagum rahasia lo. Lo itu banyak penggemarnya di sini-"
"Tulisannya asing banget," ujar Bagas.
"Coba perhatikan baik-baik." Erland tersenyum tipis.
"Gue ngerasa ada yang janggal--"
"BAGAS!" Suara cempreng itu terlontar dari seorang gadis cantik yang berdiri sejauh lima meter. Lea berlari menghampiri Bagas yang duduk di bangku taman. Namun, saking terburu-buru gadis itu menginjak tali sepatunya.
"Lo gak mau bangunin gue, Agas?" Lea cemberut.
"Lo siapa?" Bagas berdiri dari duduknya. Padahal sebenarnya Bagas masih ingin menikmati suasana halaman belakang sekolah SMA Bramasta yang menyejukkan. Namun, Lea tiba-tiba berdiri dan berlari memeluk erat tubuh Bagas.
"Gue lagi sakit, Agas. Gue harap lo bisa jadi penyemangat gue biar gue bisa sembuh--" Ucapan Lea terhenti lantaran Bagas mendorong tubuh Lea. "Gak usah mimpi! Jauh-jauh dari gue!" Netra hitam miliknya menyorot tajam memasuki manik hitam Lea.
"Lo kenapa? Padahal gue cuma mau bahagia sama lo."
Bagas berdecih. "Gue yang gak mau bahagia sama lo."
Bibir gadis itu bergetar hebat. "Kenapa gak mau bahagia bareng gue? Alasannya kenapa? Karena Lia?"
"Kalau iya kenapa? Masalah buat lo?" serobot Bagas.
"Lia selalu merebut semuanya," gumam Lea.
"Butuh kaca?"
"Lo kenapa bicara begitu? Dari dulu gue suka banget sama lo, Agas. Gue sayang sama lo." Lea terkekeh pelan. Sesekali dia menyeka bulir bening yang membasahi pipi. Dia berusaha kembali tersenyum meskipun menyakitkan karena perkataan Bagas tadi. "Bahagia sama gue meskipun satu hari, Bagas," lirih Lea.
Bagas terdiam kala Lea berlutut di hadapannya. Dia bingung harus berbuat apa biar Lea tidak seperti ini. Bagas sebenarnya tidak benci Lea karena dia paham kalau Lea itu anak yatim piatu yang diadopsi dari panti tapi, Bagas benci sama sikap Lea yang masih kekanak-kanakan dan mau menang sendiri.
"Bangun!" Bagas mengulurkan tangannya. Namun, Lea masih tetap tidak menggubris Bagas.
"Bangun Lea!"
Lea menggeleng pelan. "Gue bakal bangun kalau lo mau ajak gue ngerasain apa itu bahagia."
"Lo sudah bahagia, Lea," ujar Bagas.
"Gue mau bahagia sama lo!"
Bagas menghela napasnya. Dia turut menjongkokkan tubuhnya lalu ia, meletakkan dua tangannya di pundak Lea. Bagas menarik dagu Lea agar gadis itu menatap wajahnya. "Lo lihat gue! Gue cuma mau bilang kalau orang yang berhak bahagia sama gue itu bukan lo tapi, kakak angkat lo sendiri yaitu Lia." Bagas menyeka bulir bening di pipi Lea. "Jangan nangis karena lo itu harus belajar menerima kenyataan pahit," lanjut Bagas.
"Lo anggap gue apa, Bagas?" tanya Lea.
"Gue cuma nganggap lo sebagai adik," balas Bagas.
"Gue gak mau cuma sekadar dianggap adik doang, Bagas. Gue mau kalau lo anggap gue--" Lea menghela napasnya panjang kala Bagas meninggalkan dirinya seorang diri. Pergi tanpa meninggalkan sepatah kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
A&B | Kita Belum Usai [Ending]
Fiksi RemajaYang sudah membaca cerita ini, tolong jangan spoiler alur cerita dan endingnya! "Kalau kita usai, aku boleh kangen pelukan kamu yang bikin nyaman? Aku boleh kangen kamu?" Agrilia atau kerap disapa Lia, tidak pernah menduga kalau dirinya akan kembali...