1. Pemain FTV

4.5K 548 42
                                    

Surabaya, tahun 2021

"Berapa lama harus nyiapinnya, Cak Kur?"

"Seminggu."

Jawaban enteng dari laki-laki dengan kepala yang rambutnya nyaris botak dan kumis yang tipis itu membuat Anggita menggeram sambil memejamkan matanya.

"Yo enggak isoklah Cak! Masa cuma seminggu, ini aku kerjain hampir dua bulan aja naskahnya enggak beres-beres apalagi mung seminggu!" sanggah gadis yang bernama Anggita itu. Pekerjaannya sebagai produser dan merangkap penyiar radio di stasiun radio S membuatnya semakin frustrasi karena mandat untuk menyiapkan naskah serta bertanggung jawab pada program baru yakni drama radio.

"Lha kan iku tugasmu udah lama Git, jadi harusnya ya wes beres tho! Lagian mbah kung kamu itu bagian dari tim eksvakasi Trowulan dan Cagar Budaya, pastilah ngerti tentang sejarah Singasari sampai Majapahit," celetuk laki-laki botak yang akrab dipanggil Cak Kur itu dengan entengnya.

"Ya enggak gampanglah Cak! Lagian sekarang si mbah lagi sibuk neliti situs Kumitir jadi bakalan susah buat ditemui apalagi diajak ngobrol." Anggita tampak tidak mau kalah berdebat dengan seniornya.

"Cari caralah Nduk, sumber sejarah kan banyak, beli buku-buku saduran terjemahan kitab-kitab masa Majapahit juga banyak kan, nah kamu tinggal kembangin naskah cerita dari sana."

Anggita mendengkus sambil menipiskan bibirnya. "Kenapa radio kita enggak bikin drama radio yang temanya anak muda aja sih Cak Kur, kaya radio E itu kan udah bikin yang kekinian, lha kita mosok bikin yang modelan drama radio kolosal kayak zaman dulu itu. Kenapa enggak kita puter aja lagi drama radio lawas macam Tutur Tinular atau Mahkota Mayangkara daripada susah-susah bikin drama radio baru!" protes Anggita yang masih berusaha mendebat dan tak mau kalah.

"Ya nggak isok tho! Enggak orisinil iku. Lagian masyarakat sudah paham dengan jalan ceritanya, karena itu kita bikin yang baru. Pendengar radio kita ini lebih banyak di usia dua puluh lima ke atas sampai lima puluhan, dan drama radio ini pastinya akan menjadi obat tombo kangen mereka ke masa-masa zaman radio masih pesat. Pasti bisalah!"

Sekali lagi, Anggita hanya bisa menghela napasnya dengan pasrah kala tak mampu lagi untuk mendebat seniornya itu. Anggita mengambil tote bag-nya kemudian memutuskan untuk mendinginkan kepalanya sejenak ke taman Apsari yang hanya berjarak tak kurang dari 500 m. Anggita berjalan kaki sambil di tangannya sudah terdapat es kopyor lengkap dengan dua buah lumpia rebung di kresek putih.

Sampai di taman Apsari, Gita disambut oleh Cak Iswandi yang merupakan juru kuncen taman ini. Taman Apsari ini terbilang unik karena tidak hanya letaknya yang berada di jantung kota Surabaya tetapi juga di dalam taman ini terdapat sebuah arca Aksobhya yang merupakan perwujudan dari raja terakhir Singasari yakni Prabu Kertanegara. Memasuki area depan taman, akan disambut dengan gapura yang menyerupai pura-pura di Bali. Lalu saat melangkahkan kaki ke dalam, aura sekitar arca dan sekeliling taman ini seakan berbeda dengan di luar taman. Sosok Aksobhya yang masih utuh itu memilki mitos dan legenda yang sangat terkenal, bahwa arca tersebut tidak mau dibawa keluar dari bumi Nusantara.

"Mbak Gita lagi nggak siaran, Mbak?" tanya Cak Is dengan sopan. Laki-laki berambut gondrong dan sering dikucir kuda itu tersenyum tipis, dan mengangguk.

"Enggak Cak Is, jadwalku malam." Anggita mengedarkan pandangannya ke sekitar taman lalu kembali menatap ke arah Cak Iswandi. "Tumben enggak banyak yang ritual atau nongkrong di sini Cak?" tanya Anggita.

"Akhir-akhir ini memang sepi yang ke sini Mbak, apalagi sejak PPKM bulan Juni-Juli itu malah enggak ada blas yang ke sini sekalipun untuk berdoa."

Anggita mengangguk-angguk lalu ia menyodorkan satu kresek yang berisi es kopyor dan lumpia yang memang sengaja Anggita membeli dua dan dibagi untuk dirinya sendiri dan kuncen taman itu. "Ini buat Cak Is ya."

TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang