Arya Bhanu segera menangkap gadis kecil itu dalam dekapannya. Remaja lima belas tahun itu panik lalu menatap ke sekelilingnjya. Ia khawatir akan dituduh telah mencelakai gadis kecil ini. Saat akan mengangkat tubuh gadis itu, Arya Bhanu dikejutkan dengan mata gadis itu yang sedikit terbuka kemudian tertawa tipis, sehingga membuat Arya Bhanu segera menurunkan tubuh gadis kecil itu. Ia agak memberengut ketika sadar bahwa telah dikerjai oleh gadis kecil.
"Kenapa harus pura-pura pingsan?" tanya Arya Bhanu sedikit kesal.
Masih dengan kekehan tipisnya gadis itu menjawab, "aku ingin bermain."
"Bermain bukan seperti itu gadis kecil, tidak boleh berbohong apalagi pura-pura karena bisa jadi kamu tidak akan memiliki teman."
"Aku memang tidak punya teman," ungkap gadis itu dengan tertunduk lesu.
Arya Bhanu agak membungkuk untuk menyamakan tingginya dengan gadis itu. "Tapi berkeliaran sendirian apalagi di dalam istana seperti ini, sangat berbahaya, Mandapa ini cukup luas, apa kamu tersesat?" Arya Bhanu berusaha melembutkan suaranya.
Gadis itu menggeleng. "Aku mendengar cerita bahwa di Mandapa sangat banyak jenis burung dan taman yang penuh tanaman asoka dan juga pohon brahmastana yang indah, karena itu aku ingin melihatnya."
"Sekarang sudah melihatnya bukan? Bagaimana kalau kamu pulang?"
Gadis itu masih betah menggeleng. "Aku belum puas mengelilingi Mandapa," jawabnya ketus kemudian berbalik dan berjalan cepat. Namun, baru beberapa langkah, gadis itu terjatuh dna merasakan perih di kaki kirinya. Wajah ayunya itu seketika pasi hingga bibirnya sedikit bergetar.
Arya Bhanu segera menghampiri gadis kecil itu. Dengan sigap ia melihat di bagian telapak kaki kiri gadis itu yang tampak terluka. Sepertinya saat berlari tadi, gadis ini tidak sadar bahwa kakinya mengenai batu-batuan. Arya Bhanu yang melihat kesakitan dan rintihannya segera membalikkan badan, kemudian ia berjongkok. Ia menepuk pundaknya dan berkata pada gadis kecil itu. "Naiklah ke punggungku agar telapak kakimu tidak sakit."
Gadis itu menggeleng pelan. Wajah ayunya itu sedikit merona.
"Telapak kakimu akan tambah sakit, dengan naik ke punggungku kita lebih cepat ke dapur istana agar aku bisa meminta Biyung Darsana untuk membantu mengobati kakimu."
"Tapi aku ingin masih melihat-lihat burung di Mandapa," ucap gadis itu dengan wajah yang masih tertunduk dan mengerecutkan bibirnya. "Aku enggak akan tahu kapan lagi bisa ke sini."
Arya Bhanu menghela napasnya panjang. "Naiklah! Aku akan mengajakmu untuk melihat burung bondol yang warnanya cantik."
Seketika gadis itu menaikkan wajahnya lagi dengan binar mata yang cerah seakan melupakan telapak kakinya yang terluka. "Terima kasih, kebaikan kamu pasti aku kenang dan mendapat imbalan," ujar gadis itu.
Arya Bhanu hanya menggerakkan kepalanya-agar gadis itu segera naik ke punggungnya. Arya Bhanu tidak bermaksud kurang ajar, sungguh. Ia hanya tidak tega melihat telapak kaki gadis itu terluka lebih dalam. Ia menduga bahwa gadis kecil itu sangat terawat dan tidak pernah berlari kencang seperti tadi, karena itu ia menawarkan untuk menggendong di punggungnya.
Tak hanya Arya Bhanu yang merasa berdebar ini adalah pertama kali baginya, pun sama dengan gadis itu yang tampak malu-malu saat mengalungkan kedua tangannya ke depan. Arya Bhanu berjalan tidak cepat tapi juga tidak lambat, namun entah mengapa waktu bagi mereka berdua serasa begitu lama. Untuk mengusir dan mengalihkan degupan jantungnya yang cepat itu, gadis itu pun bertanya.
"Mana burung bondolnya?"
"Di depan, tapi kita enggak bisa lama melihatnya, kaki kamu harus segera diobati dan juga aku harus kembali ke kandang kuda merawat kuda para Rakryan dan Senopati."
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETED
Historical Fiction--Pemenang Wattys 2022 (Fiksi Sejarah)-- Blurb: Anggita yang bekerja di stasiun radio S di Surabaya, diminta atasannya untuk merancang program drama sandiwara radio, bahkan harus menyiapkan naskah cerita drama tersebut yang harus bertema kolosal. Ke...