Ekstra Part 2

1.6K 201 53
                                    

Tribhuana menatap nanar pada bangunan kecil beratap jerami dengan tiang dari bambu. Rumah yang sangat sederhana bagi seorang keturunan raja besar Wilwatikta. Dia tidak sedang menyesali keputusannya. Sebab, hidup sederhana, jauh dari gelimang harta dan gemerlap istana adalah keinginannya. Apalagi kini hidupnya sudah lengkap.

Cintanya yang dia pupuk sejak remaja hingga dewasa, kini mendapatkan tempat dan restu. Meski dia harus rela menyerahkan takhtanya pada sang adik. Tribhuana memejamkan mata. Berusaha mengusir sejenak rasa bersalahnya pada; mendiang ayahanda prabu, ibundanya, adiknya, terlebih lagi rakyat Wilwatikta.

Namun, sentuhan lembut yang menggenggam erat tangan kanannya membuat Tribhuana sadar dari lamunan. Dia menoleh pada laki-laki bermata sendu itu, seolah laki-laki itu tahu dan merasakan apa yang dirasakannya.

"Hamba ... mohon maaf," ucap laki-laki itu lirih.

Tribhuana menggeleng pelan sembari mengulas senyumnya. Dia meremas kuat genggaman tangan laki-laki itu. Mengantarkan rasa hangat yang menenangkan. "Jangan minta maaf, sebab ini adalah jalan hidup yang aku pilih." Kemudian dia sedikit mengerucutkan bibirnya—bersikap pura-pura merajuk. "Lagi pula kita sudah menikah, kenapa masih harus bersikap formal seperti itu."

Menikah? Pipi keduanya bersemu. Mereka berdua tak menyangka bisa sampai pada titik pernikahan. Sebuah awal baru bagi keduanya yang tentu saja tak akan mudah. Sebab bagaimanapun Sang Putri yang rela menjalani perkawinan Pratiloma dan menjadi Jawi Kepateh sehingga harus melepaskan segala kehidupan gemerlap istana juga taktanya sebagai Rajaputri Wilwatikta. Hal yang seharusnya tidak boleh terjadi dalam tatanan masyarakat Wilwatikta, apalagi yang menjalaninya adalah seorang keturunan raja besar. Proses yang rumit dan memerlukan restu yang tak mudah. Namun, mereka membuktikannya. Termasuk tekad Tribhuana untuk berbakti pada laki-laki yang dicintainya—yang kini telah menjadi suaminya.

Tribhuana semakin mendekatkan tubuhnya pada Arya Bhanu sembari tatapannya tak beralih dari suaminya. Dia bisa melihat bahwa suaminya tampak sedikit salah tingkah. Netra suaminya mengerjap beberapa kali, bahkan suaminya itu menggerakkan jakunnya naik turun. Tribhuana hanya bisa menahan senyumnya melihat sisi lain Arya Bhanu yang seperti ini.

"Kakang ...," panggil Tribhuana dengan suara rendah.

Ah! Sepertinya dia terjebak pada godaannya sendiri. Karena kali ini, perutnya serasa melilit begitu hebat. Memanggil laki-laki itu dengan namanya saja sudah membuat perutnya bergulung bagai ombak besar, apalagi kini dia memanggil laki-laki itu 'kakang' sebuah panggilan yang memang sudah lazim bagi seoramg istri.

"Dinda ... Dinda Gitarja." Suaminya membalas panggilannya. Namun, panggilannya bersamaan dengan luruhnya air mata dari Arya Bhanu. Tangannya yang sejak tadi digenggam suaminya, kini ditempelkan pada pipi suaminya lalu sebuah kecupan perlahan diterima Tribhuana.

Dia ikut menangis. Kecupan di telapak tangannya bagai sebuah tanda bahwa pernikahan ini yang awalnya hanya mimpi adalah sebuah hal yang nyata. Tribhuana menunduk. Meresapi setiap sentuhan Arya Bhanu di telapak tangannya.

"Mungkin aku tak bisa menjanjikan kehidupan yang membahagiakan dengan limpahan emas dan sutra. Pengorbananmu yang besar akan kubalas dengan kesetiaan, perlindungan dan rasa yang tak pernah berhenti. Maaf ... maafkan aku."

Arya Bhanu melepaskan genggaman tangannya. Kakinya mundur dua langkah sembari menatap lamat-lamat pada istrinya yang masih menangis. Dia mengulas senyumnya dengan mata yang masih berkaca-kaca. Dia menangkupkan kedua tangannya di atas kepala lalu berlutut di depan istrinya. "Izinkan untuk terakhir kalinya, hamba memberikan penghormatan pada Rajaputri Tribhuana Tunggadewi Jayawisnu Wardhani. Hormat hamba pada Rajaputri dan terima kasih atas segala cinta pada laki-laki yang rendah ini. Mohon maaf atas kelancangan perasaan hamba yang—"

TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang