23. Model Pengganti

1.1K 261 6
                                    

BAB 23

"Mimpi apa kamu, Nek, sampai bisa semobil sama si Cakcak ini," bisik Usmanda dari belakang.

Anggita hanya berdecak agak keras dan enggan menjawab gurauan usmanda. Ini semua Anggita terpaksa lakukan, karena ia sendiri ataupun Usmanda, kurang memahami rute perjalanan menuju Gunung Penanggungan, sehingga memutuskan untuk menerima ajakan Cakra untuk berangkat bersama.

Cakra yang sedang mengemudikan mobilnya, sesekali melirik Anggita dan memberikan senyuman manisnya, meski hanya dibalas Anggita dengan lirikan setajam silet. Cakra seolah tak gentar terus berupaya untuk mendekati Anggita lagi.

Sedangkan Usmanda dan Arya Bhanu duduk di kursi belakang. Beberapa kali Usmanda melirik pria Majapahit itu yang tampak terus menatap ke arah jendela. Membuat Usmanda penasaran dengan apa yang sedang dilihat oleh pria itu.

Usmanda pun menyenggol pelan lengan Arya Bhanu sembari mendekatkan tubuhnya ke sisi Arya Bhanu, dan ikut-ikutan melihat kea rah jendela. Namun, yang ditemukan Usmanda hanya pemandangan biasa.

"Lihat apa sih, Mas?" tanyanya pada Arya Bhanu.

Namun, lagi-lagi, ia hanya mendapat jawaban tak memuaskan. Merasa terus tidak dipedulikan oleh Arya Bhanu dan Anggita atas keceriwisannya, Usmanda berdecak kasar lalu melipat kedua tangannya ke depan dada. Bibirnya mengerucut ke depan dan menyandarkan punggungnya pada sandaran jok mobil. Usmanda memilih tidur daripada keberadaannya hanya dianggap obat nyamuk.

Lain Usmanda, lain pula dengan Arya Bhanu yang merasa tidak asing dengan perjalanan menuju Gunung Penanggungan. Meskipun sudah sangat berbeda terutama bangunan-bangunan dan perkampungan yang berdiri sekarang ini di sepanjang jalan Trawas menuju Gunung Penanggungan, tapi Arya Bhanu seakan kembali ke zamannya.

Sisa-sisa pohon yang berjejer menjulang tinggi di sepanjang jalan yang berdampingan dengan kedai-kedai. Lalu jalanan yang meliuk-liuk dan sudah beraspal, tentu sangat berbeda dengan apa yang pernah dilaluinya dulu saat berada di sini. Arya Bhanu sempat melihat puncak Penanggungan dan dikelilingi oleh anak gunung kecil. Persis dengan Gunung Pawitra, tempatnya diasingkan dan justru menjadi titik balik hidupnya.

Karena itu, perhatiannya benar-benar tersita pada jalanan dan tak menghiraukan ucapan Usmanda bahkan panggilan Anggita padanya saat ini.

"Bhanu!" panggil Anggita dengan sedikit berteriak, karena Arya Bhanu tak kunjung menoleh padanya. Saat laki-laki itu akhirnya menoleh padanya, Anggita segera menawarkannya nasi kepal yang dibelinya saat Cakra dan beberapa kru radio yang juga ikut dan menaiki mobil yang lain, berhenti sebentar untuk membeli camilan dan minuman di minimarket.

"Nih, nasi kepal, makan!" tawar Anggita dengan nada ketus. Arya Bhanu melihat sekilas nasi dengan bentuk segitiga dan dilapisi nori itu. Tak ada maksud apa pun, atau bahkan menolak, namun sepertinya Anggita salah sangka.

"Ini nasi! Di dalamnya juga ada isinya dan yang ijo-ijo tua ini nori, bisa dimakan. Makan gih! Biar enggak katrok!" ucapnya sekali lagi ketus.

Arya Bhanu hanya pasrah dengan nada ketus Anggita padanya yang sudah beberapa hari ini. Ia sendiri terus bertanya-tanya, apakah ada yang salah dengannya, atau karena kejadian waktu itu, saat Arya Bhanu tidak meminta izin Anggita untuk pergi keluar menemui seseorang yang membuatnya penasaran. Arya Bhanu tidak tahu jawabannya, karena untuk berbicara dengan Anggita saja, seakan tidak ada waktu. Anggita seperti menghindari untuk bersitatap dengannya apalagi berbicara. Bila terpaksa untuk berbicara, hanya nada ketus yang terucap.

"Teman kamu itu wong ndeso ya, Git? Kayaknya dia itu plonga-plongo, enggak tahu apa-apa, kayak bukan orang sini. Sayang aja gitu, Git, wajahnya tegas, wibawa, badan keker, eh plonga-plongo. Kan enggak cucok gitu, apa karena deket juga sama Usman jadi dia gitu?" cecar Cakra dengan tangannya yang masih setia mengemudikan stir mobilnya.

TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang