15. Penglihatan dan Ramalan

1.2K 286 13
                                    

Anggita sontak menoleh pada kakeknya. Tak ingin berpikir macam-macam, Anggita segera mengonfirmasi pernyataan dari kakeknya itu.

"Maksud Mbah Kung?" tanyanya dengan nada sedikit meninggi.

"Kamu bertemu dengan dia di mana Nduk?" Kakek malah balik bertanya pada Anggita.

"Kan tadi si Usmanda cerita kalau itu temannya dia dan pertukaran pelajar untuk jadi penerus Dalai Lama." Dalam hati, Anggita mengutuki dirinya sendiri. Selain berbohong pada kakeknya yang tentu akan sia-sia, juga karena alasan tidak masuk akal yang dibuat oleh bestie bengkoknya itu.

"Dari Tibet atau asli Trowulan?" sangsi Kakek pada Anggita.

Anggita meringis pelan dan hanya menampilkan giginya saja lalu menggaruk kepalanya. Sudahlah, Anggita menyerah bila Kakeknya sudah menebak begini. "Apa yang Mbah Kung lihat?"

"Merah dan merah muda," jawab Kakenya dengan singkat namun entah mengapa Anggita merasakan hal yang lain. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, Anggita hanya bisa diam, menantikan penjelasan kakeknya.

"Kemarahan, cinta sejati, dan ketidakprofesionalan."

"Maksudnya Kung?" Jujur Anggita masih tidak mengerti dan mulai sedikit khawatir.

"Pemuda itu, melambangkan semua yang Mbah Kung ucapkan. Entah apa yang sedang dijalaninya hingga membuatnya sampai di tempat ini."

Dan bertemu kamu cucuku ... kalimat ini tidak disampaikan oleh Kakek pada Anggita. Ia menyimpannya, karena apa pun itu, penglihatan dan analisanya bisa saja salah. Tidak ada yang pernah pasti di dunia ini, dan apa yang diucapkannya bisa saja menjadi marabahaya terutama untuk cucu tercintanya.

Anggita melongo kian lebar. "M-mbah Kung tahu kalau dia benar-benar berasal dari ...."

"Majapahit?" tebak Kakek.

Anggita mengangguk kaku. Bulu kuduknya berdiri terutama di area leher dan tangan, hingga membuat tubuhnya meremang hebat. Sejak kecil, Anggita pernah mendapat cerita dari almarhum ibunya bahwa kakeknya itu istimewa.

"Bagaimana bisa Mbah Kung nebak dengan bener?!"

Anggita mengalihkan pandangannya ke kebun belakang rumah. Arya Bhanu yang sedang dibicarakan, masih asyik memanjat pohon mangga dan terlihat senyum yang lebar kala mendengar teriakan heboh dari Usmanda.

"Auranya terlihat jelas, Nduk, bagi orang-orang seperti kakek, hanya bisa menebaknya dan mencari tahu akan kebenaranya, tapi yang Mbah Kung khawatirkan adalah keberadaannya, apakah akan mengubah sejarah, dan justru memperkeruhnya, ini yang tidak tahu. Karena itu, jangan pernah menceritakan apa pun tentang Trowulan ataupun Majapahit, terutama tahun setelah 1331."

"Hm ... Mbah Kung, Gita masih belum mengerti maksud Mbah Kung, apakah Arya Bhanu berbahaya?"

"Nama pemuda itu Arya Bhanu?"

Anggita mengangguk dan Kakek agak tertunduk kemudian memejamkan matanya sebentar.

Namanya juga bisa bermakna matahari. Laki-laki itu memiliki garis hidup yang sungguh luar biasa. Kakeknya hanya bisa bergumam dalam hati.

"Mbah Kung, kenapa Arya Bhanu tidak boleh tahu tentang perkembangan Majapahit, bukankah itu bangsanya, negaranya, bahkan dia Abdi setia sang Rajaputri Tribhuana, bukankah itu akan membuatnya semangat saat bisa kembali ke Majapahit?"

"Tidak sesederhana itu, Nduk. Secara waktu, dia hidup di tahun 1331, artinya apa yang terjadi setelah tahun tersebut, bagi pemuda itu adalah sama seperti ramalan. Kitab Desawarnarna atau Negarakertagama sendiri hanya bersifat puja sastra di zaman Hayam Wuruk, sedangkan zaman setelah pemerintahan Hayam Wuruk yang tertulis di Pararaton, masih perlu dikaji lebih mendalam mengenai kebenarannya. Prasasti dan tutur dari orang-orang dulu serta bangunan candi pun belum bisa mengungkapkan faktanya. Karena itu bila dia mengetahuinya akan berdampak pada perubahan sejarah yang bisa terjadi."

Anggita mulai memahami maksud kakeknya, tapi ada pula hal yang mengganjal dalam pikirannya. "Tapi Mbah Kung, kalau sejarah berubah, apakah juga akan mengubah peninggalan-peninggalan yang sudah ditemukan? Karena menurutku sangat kecil, seorang prajurit macam dia mengubah sejarah."

Kakek menghela napasnya panjang. Pandangannya lurus ke depan, pada Arya Bhanu yang sedang tersenyum mendengar kecerewetan mubazir dari laki-laki jadian macam Usmanda.

"Mahapatih Gajah Mada juga awalnya hanya bekel biasa namun bisa mengubah sejarah. Sama seperti sosok pemuda itu, Mbah Kung sendiri sudah bilang, ini sifatnya hanya ramalan baginya, karena itu Mbah Kung tidak bisa memastikan yang sedang dijalani ini apakah karma baiknya atau karma buruknya. Kedua hal ini, hanya pemuda itu yang bisa menentukan."

"Hm ... Anggita sama Usmanda awalnya mengajaknya ke Trowulan agar dia bisa menemukan petunjuk untuk bisa kembali ke tahun 1331, cuma waktu di jalan, Anggita sempat mikir untuk ke rumah Mbah Kung dulu, sekalian minta bantuan untuk bisa masuk bila ternyata masih ditutup karena pandemi."

"Sebaiknya jangan," sanggah kakek cepat. "Dan, hati-hati bila pemuda itu bertemu dengan orang yang seperti Mbah Kung."

"Kenapa Kung?"

"Keberadaannya bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin menggali peninggalan masa lampau untuk kepentingan pribadinya."

"Apa dia pasti tahu Mbah Kung?"

Kakek menggeleng. "Dia tidak akan tahu hanya saja dia bisa menjadi petunjuk di mana letak sesungguhnya."

"Kenapa Mbah Kung juga enggak mau memanfaatkan keberadaan dia kalau gitu? Lagi pula sekarang Mbah Kung lagi neliti situs Kumitir, pasti Mbah Kung bakal bisa---" ucapan Anggita tersela karena sang kakek mengusap kepalanya.

"Kalau manfaatin dia, letak seninya mengulik sejarah di mana? Arkeolog itu ya harus bisa menemukan benda-benda sejarah dari hasil analisa dsn terapan ilmunya, dari sumber-sumber sejarah yang seringnya satu dan lainnya berkaitan. Lagian Nduk, apa yang dimiliki Mbah Kung ini tidak selamanya menjadi benar atau pasti terjadi, sama halnya dengan saat apa yang menimpa almarhum kedua orang tuamu dulu," ucap Kakek dengan sendu.

Setiap membahas mengenai kedua orang tua Anggita yang sudah tiada, menjadi beban tersendiri bagi kakeknya. Seorang anak akan selalu berat bila ditinggal oleh kedua orang tua, tapi tidak akan pernah bisa memahami bagaimana sesaknya hati orang tua saat melepas anak-anaknya ke liang lahat.

Anggita hanya menghela napasnya panjang, kemudian mengusap tangan keriput Kakeknya. "Kayaknya Anggita harus manggil Uti ya Mbah Kung, biar bisa segera rujakan, dan makan ramai-ramai."

Anggita mengatakan hal itu untuk mengalihkan perhatian sang kakek dan dirinya, agar tidak mengingat-ingat kembali bagaimana kepergian orang tuanya untuk selama-lamanya.

***

Bdg, 22 Maret 2022

Oke ... Mas Majapahit belum nongol ya, masih asyik metik buah sama si bestie bengkok🤭

Sejauh ini, bagaimana menurut teman2? Semoga masih menikmati cerita ini.

Terima kasih

TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang