Surabaya, tahun 2022
Anggita berusaha melanjutkan hidupnya seperti biasa, seperti saat laki-laki itu belum datang dan mengganggu kehidupannya. Berminggu-minggu Anggita menenggelamkan dirinya pada pekerjaan dan program radio yang digagasnya. Produksi sempat terhambat ketika dia tak mampu menyelesaikan naskah untuk episode terakhir.
Bayangan mimpinya tentang sebuah perang dan bagaimana Arya Bhanu yang tewas, terus menganggunya. Apakah laki-laki itu benar-benar telah tiada? Anggita tidak tahu, sebab dia ditinggalkan begitu saja. Dia bahkan mengunjungi perpustakaan, lalu mencari literature yang bisa membuatnya menemukan sosok Arya Bhanu dalam sejarah manuskrip Majapahit, tapi hasilnya nihil.
Arya Bhanu hanyalah abdi Gajah Mada dan ikut menjadi pasukan Bhayangkara, hanya itu yang diketahuinya dari cerita laki-laki itu, juga kisahnya dan sang Rajaputri yang bagaikan sebuah film berputar dalam mimpi-mimpinya semenjak Arya Bhanu kembali. Sehingga, bodoh bukan dirinya, mencari sumber sejarah dan berharap barangkali nama Arya Bhanu akan ditemukannya.
Tubuh dan pikirannya yang lelah itu membutuhkan waktu untuk istirahat, karena itu Anggita memutuskan untuk pergi mengunjungi kakek dan neneknya di Mojokerto. Anggita datang di malam hari dengan mengendarai motornya dan setelah membersihkan diri, awalnya ia hendak tidur. Namun,pintu kamarnya diketuk oleh Purwoko.
"Nduk, Mbah Kung mau ngobrol sebentar bisa?"
Anggita segera melangkah menuju pintu dan membukanya. "Kenapa Kung?" sembari tatapannya memicing pada benda yang dipegang kakeknya. Anggita merasa tidak asing.
Purwoko masuk ke dalam kamar Anggita dan duduk di dekat meja belajar cucunya. "Pertama kali kamu tahu benda itu ketika usia masih TK kayaknya, Nduk. Dan, kemampuanmu melihat hal-hal diluar nalar semakin kuat setelah kamu menemukannya di lemari. Mbah Kung menemukan benda ini, saat kamu masih berada dalam kandungan ibumu, dan benda ini sama sekali tidak mau pergi, sehingga sampai sekarang Mbah Kung menyimpannya, sampai laki-laki Majapahit itu datang ke sini, dan akhirnya Mbah Kung tahu jawabannya. Benda ini Mbah Kung temukan di situs Watu Ombo, tempat pendermaan Gusti Rajaputri Tribhuana Tunggadewi."
Anggita terkesiap dengan penjelasan panjang lebar kakeknya itu. "Kamu buka dan baca, Nduk?"
"Baca?" tanya Anggita heran.
Purwoko hanya tersenyum tipis. "Kamu buka saja lontarnya, dan saat itu kamu akan seketika paham dengan aksara kawi itu." Purwoko mengusap puncak kepala dengan pelan. "Mbah Kung tinggal ke kamar dulu, ya."
Setelah Purwoko pergi dan menutup pintu kamarnya, Anggita segera membawa kotak emas itu ke tempat tidur. Tangannya seperti tersengat listrik dan kilasan-kilasan penglihatannya muncul. Arya Bhanu dan Rajaputri yang saling menatap sendu di depan arca Aksobhya—yang kini Anggita sadar bawa adalah arca yang sama di taman Joko Dolog. Kemudian penglihatannya berganti dengan saat Tribhuana ditabalkan menjadi pemimpin Majapahit dan Arya Bhanu yang tengah berdoa pada Aksobhya kemudian tampak sedang menulis di antar lontar.
Energinya seakan diserap habis setelah mendapatkan gambaran-gambaran itu dan kini tangannya sudah tidak sabar untuk membuka lembaran lontaran yang bahkan menguarkan wangi seperti bunga Tanjung. Benar kata kakeknya, bahwa Anggita bisa membaca huruf Jawa Kawi, padahal tidak pernah mempelajari sebelumnya.
Bagai campaka yang diterpa angin, mungkin begitulah hamba saat ini
Seraya terombang-ambing atas lara dan duka karena kesalahan diri sendiri
Tubuh tegap ini bagai tak bertulang, lemah dan rapuh
Namun, manusia lemah adalah yang paling mudah terhasut akan ketamakan dan keserakahan
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETED
Historical Fiction--Pemenang Wattys 2022 (Fiksi Sejarah)-- Blurb: Anggita yang bekerja di stasiun radio S di Surabaya, diminta atasannya untuk merancang program drama sandiwara radio, bahkan harus menyiapkan naskah cerita drama tersebut yang harus bertema kolosal. Ke...