Pagi-pagi sekali, Arya Bhanu dan Emban Darsana berangkat meninggalkan istana dan kotaraja menuju Kahuripan. Setelah melewati gerbang Purwaktra yang megah itu, dada pemuda itu berdenyut nyeri. Ia tidak mengerti, mengapa hatinya terasa sakit meninggalkan istana. Entah karena meninggalkan pekerjaannya atau karena hal lain. Arya Bhanu menepis pikirannya ketika bayangan wajah ayu sang Sekar Kedaton-Putri Tribhuana hadir. Ini terlarang dan hal yang harus dilakukannya itu adalah meluruskan niatnya sebelum ke Gunung Pawitra.
Bagaimanapun juga, Gunung Pawitra adalah tempat suci-tempat para Dewa bersemayam dan tempat belajar segala ilmu. Ia tidak boleh merasa diasingkan dan dibuang. Justru sejak semalam, selain sulit tidur, Arya Bhanu meyakinkan dirinya sendiri, bahwa di Gunung Pawitra inilah ia akan belajar dan menempa dirinya dan kembali ke kotaraja.
Hampir lebih setengah hari perjalanan, mereka telah sampai di Kahuripan. Beristirahat sebentar, tapi beberapa saat kemudian Darsana sudah sibuk di pawon untuk membuat makanan. Arya Bhanu yang hampir terlelap pun kembali duduk lalu menyusul biyungnya.
"Biyung kenapa masih sibuk di dapur dan memasak. Nanti saja, biyung pasti masih lelah."
Darsana menoleh pada putranya lalu menggeleng. Tangannya masih aktif meracik rempah dan membalurkannya pada satu ekor ayam yang sudah dibelah kemudian di taruh dalam wadah dari bahan tembikar yang ada di atas tungku api. "Enggak apa-apa, kamu dan biyung juga harus makan. Mau makan nanti atau malam, juga sama saja."
Arya Bhanu menatap biyungnya yang tampak berkaca-kaca. Ia tahu bahwa biyungnya masih belum rela melepaskannya ke Pawitra.
"Biyung ...." suara Arya Bhanu kian tercekat kala isakan biyungnya semakin terdengar.
"Biyung cuma kepikiran almarhum kedua orang tuamu. Kalau mereka masih ada, tentunya hidupmu akan lebih baik. Bapakmu salah satu Punggawa Parentah Istana, bekerja membantu pemerintahan, setidaknya derajatmu bisa diangkat, meski ibumu dari kasta Sudra dan hanya seorang Emban. Tapi mereka saling cinta dan nekat menikah. Kebahagiaan mereka singkat hingga sampai kamu berusia lima tahun, dan-" Darsana sudah tidak sanggup melanjutkan ceritanya. Air matanya luruh mengingat adik kandungnya yang meninggal bersama sang suami hanya untuk mempertahankan pernikahan mereka yang sering ditentang oleh pihak mertua yang dari kasta dan golongan berbeda. Beruntung Darsana masih bisa menyelematkan keponakannya.
Arya Bhanu mengusap punggung biyungnya dengan lembut. "Biyung, semua adalah pepesthen yang tidak bisa dihindari. Bagaimanapun juga, kita harus menjalaninya. Saya berjanji akan kembali ke istana dan menjaga biyung lagi."
Darsana menggeleng. "Di mana pun kamu berada, biyung akan selalu mendoakan. Tapi, Nak, takdir manusia itu hanya lahir, hidup dan mati, selebihnya adalah bagaimana manusia itu memilih jalan dan cara hidupnya. Biyung hanya bisa memberikan saran, jauhi bahaya, dan bila boleh biyung memohon, jika kelak sudah waktunya, pilihlah perempuan dari kalangan kita, agar tidak terlalu berat kamu memendam luka seumur hidup. Cinta itu indah dirasa tapi sakit bila dijalani. Cukup kisah kedua orang tuamu jadikan pelajaran."
Arya Bhanu tersentak dengan ucapan biyungnya. Namun, ia tetap mengangguk. Pungguk tak akan bisa memeluk rembulan. Terlebih rembulan Wilwatikta.
Setelah pembicaraan yang mengharukan itu, Darsana dan Arya Bhanu membersihkan rumah mereka dan menunggu makanan matang. Melihat bagaimana Arya Bhanu kini tumbuh dan menjadi pemuda remaja yang pastinya masih akan bertumbuh dewasa beberapa tahun ke depan. Darsana benar-benar berharap, bahwa putranya itu akan selalu dilindungi Dewata dan tidak akan pernah mengalami hal buruk dalam hidupnya seperti kedua orang tuanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETED
Historical Fiction--Pemenang Wattys 2022 (Fiksi Sejarah)-- Blurb: Anggita yang bekerja di stasiun radio S di Surabaya, diminta atasannya untuk merancang program drama sandiwara radio, bahkan harus menyiapkan naskah cerita drama tersebut yang harus bertema kolosal. Ke...