Dyah Wiyat berlarian ke sana-kemari di sekitar Mandapa. Sejak kejadian kaburnya Tribhuana ke Mandapa hingga membuat gempar istana waktu itu, Prabu Dyah Wijaya mengizinkan kedua putrinya untuk berkeliling istana selain keputren. Dan, Mandapa inilah tempat favorit bagi kedua putri. Jika Dyah Wiyat senang dengan aneka warna burung yang cantik dan kicauannya dan berbagai tanaman yang ada di Mandapa, Tribhuana justru seakan tenggelam dalam ingatannya saat bersama Pekatik muda itu. Golek kayu berbentuk burung mprit bahkan masih disimpannya dengan baik.
Sudah berbulan-bulan, bagaimana kabar Arya Bhanu? Tribhuana hanya bisa menanyakan dalam dirinya sendiri tanpa pernah bisa menemukan jawabannya.
"Yunda Gitarja, sini, jangan melamun terus!" seru Dyah Wiyat pada kakaknya. Melihat kakaknya hanya mengangguk dan tersenyum lalu beralih kembali menatap sangkar burung pipit, Dyah Wiyat pun berlari kecil menghampiri kakaknya. Saat sudah berdiri di samping Tribhuana, Dyah Wiyat hanya mendecakkan bibirnya dan ikut melihat burung pipit yang bertengger di pohon. "Apa bagusnya burung mprit, Yunda? Lihat aja, burungnya kecil dan suaranya tidak semerdu burung yang di sangkar seberang itu," ujar Dyah Wiyat memberikan penilaian.
"Tapi burung mprit bebas bisa terbang ke mana saja, lihat, sangkarnya pun tidak beratap hanya rimbun dengan pepohonan, katanya sengaja dibuat seperti itu, agar burung mprit yang lain berkumpul di sangkar ini dan tidak menganggu sawah milik para petani."
"Kata si Pekatik itu kan?" tebak Dyah Wiyat langsung hingga membuat wajah kakaknya itu merona. "Ah ... jadi benar rupanya, Yundaku ini sedang renjana pada si Pekatik muda itu," goda Dyah Wiyat.
"Itu kan golek kayu buatan Pekatik!" seru Dyah Wiyat lalu segera mengambil golek kayu yang ada di dalam genggaman tangan Tribhuana.
"Dinda Dyah Wiyat! Kembalikan."
Dyah Wiyat menggeleng. "Pantas saja, Yunda setiap ke Mandapa selalu lihat burung emprit, ternyata," goda Dyah Wiyat lagi sambil terkekeh kemudian berlari dengan tangan yang mengangkat golek kayu tersebut ke atas. Terlalu senang berlari dan menggoda kakaknya, Dyah Wiyat tidak memperhatikan ada batu sehingga membuatnya tersandung. Beruntung, seorang pemuda yang sering wara-wiri di Kedaton bersama Tabib istana membantu menangkap tubuhnya sehingga tidak sampai terjatuh. Pemuda tersebut dan Dyah Wiyat sempat berpandangan sebentar. Namun, pemuda tersebut segera melepaskan tangannya dan menunduk, tidak berani menatap wajah sang Sekar Kedaton.
"Maafkan hamba Gusti Putri," ucap pemuda tersebut masih dengan wajah tertunduk.
Dyah memperhatikan penampilan pemuda tersebut yang terlihat santun. Rambutnya tidak gelung keling layaknya para pemuda dan laki-laki di Majapahit, tapi dikucir ke belakang lalu ditutup dengan ikat kepala yang mirip blangkon.
"Siapa namamu?" tanya Dyah Wiyat.
Pemuda itu terperanjat tapi tetap menjawab. "Hamba bernama Ra Tanca, Gusti Putri," jawabnya terbata.
"Ra Tanca, kamu yang membantu Tabib Istana yang sering dipanggil ayahanda Prabu kan? Berarti kamu pintar mengobati kan?" Putri kecil itu terus bertanya sembari terus memperhatikan wajah Ra Tanca. Tinggi Dyah Wiyat yang hanya mencapai dada Ra Tanca, membuat Dyah Wiyat harus mendongak.
Tribhuana mendekat lalu menarik tangan adiknya pelan. "Dinda, jangan begitu, bisa dilihat Emban dan Abdi yang lain," tegur Tribhuana tapi adiknya itu hanya terkekeh pelan. "Golek kayu punyaku mana?" tanya Tribhuana.
"Oh iya, mana ya, Yunda," ucap Dyah Wiyat lalu meringis dan menggaruk dahinya.
Kedua putri itu pun menunduk dan memperhatikan jalanan lalu berkeliling ke sekitar untuk menemukan golek kayu berbentuk burung pipit tersebut. Tribhuana sudah cemas dan takut bila golek kayunya hilang. Hanya benda itu satu-satunya yang mengingatkannya pada Arya Bhanu dan seakan saling menghubungkannya dengan si Pekatik tersebut. Bila hilang, tentu saja diganti berapa banyak golek kayu tidak akan bisa menggantikan pemberian Arya Bhanu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETED
Historical Fiction--Pemenang Wattys 2022 (Fiksi Sejarah)-- Blurb: Anggita yang bekerja di stasiun radio S di Surabaya, diminta atasannya untuk merancang program drama sandiwara radio, bahkan harus menyiapkan naskah cerita drama tersebut yang harus bertema kolosal. Ke...