41. Berakhirnya Sang Adu Domba

971 188 7
                                    

Majapahit

"Bajingan!" teriak Jayanegara sembari mengepalkan tangannya dan dipukulkan ke pahanya sendiri. Amarahnya sudah tidak bisa ia tahan saat mendengar laporan dari Gajah Mada dan Arya Bhanu yang meghadapnya setelah perayaan maleman kerajaan usai beberapa hari berikutnya.

"Apa yang kamu ucapkan tidak mengada-ada 'kan, Gajah Mada?"

Gajah Mada menelungkupkan kedua tangannya ke atas. "Hamba tidak berani berdusta pada Gusti Prabu," balas Gajah Mada dengan tegas.

Embusan napas Jayanegara serasa lebih cepat. Dadanya yang terbakar amarah, seolah membuat kepalanya semakin mendidih dan ingin segera menebas musuh yang memfitnahnya. "Untuk apa aku mencelakai Pangeran Kudamerta dan Pangeran Cakradara, bila nyatanya tanganku sendiri lah yang menyambut kedatangan mereka. Meski kami tidak terlalu akrab dan hanya menjadi teman semasa menempuh pendidikan dulu, tapi tuduhan yang dilemparkan padaku sungguh keji!"

Kini pandangan Jayanegara beralih pada Arya Bhanu dan sedikit mencondongkan tubuhnya. "Bagaimana nasib dari prajurit yang menyerang kedua pangeran dan kedua adikku sekarang ini? Apa masih berada di pakunjaran?"

"Hamba mohon maaf, Gusti Prabu, sebelum hamba menghadap ke sini, hamba menemukan beberapa prajurit yang berhasil kami tangkap, dalam keadaan tidak bernyawa di pakunjaran," jawab Arya Bhanu.

"Dibunuh?!" Jayanegara sangat terkejut hingga bulu kuduknya sendiri berdiri.

"Kami menduganya seperti itu, Gusti Prabu," jawab Gajah Mada.

"Siapa yang berani bermain-main denganku, Gajah Mada! Apa mereka tidak takut dengan kekuasaanku sebagai Raja Agung Wilwatikta keturunan Dyah Wijaya! Cincang dan potong-potong bagian tubuhnya bagi mereka yang ditemukan berkhianat padaku apalagi sampai melemparkan fitnah!"

Jayanegara memang takut takhtanya terguncang dan direbut paksa, apalagi bila kedua adiknya itu akan menikah nantinya. Ia memang sedang mencari cara bagaimana agar bisa mendapatkan kedua adiknya untuk dirinya sendiri, namun fitnah keji yang dilontarkan padanya membuatnya semakin rumit.

"Ampun, Gusti Prabu, ada seseorang yang kami curigai, hanya saja kami tidak berani mengungkapkannya sebelum memiliki bukti kuat," ungkap Gajah Mada yang malah membuat Jayanegara semakin penasaran.

"Siapa? Katakan Gajah Mada!"

"Kami menemukan ciri khas dari gerombolan yang menyerang Pangeran Kudamerta dan Pangeran Cakradara, adalah kelompok yang sama dengan para begundal yang meresahkan rakyat kotaraja di pasar, Gusti Prabu. Mereka saling mengenal, dan hamba menduga, mereka dipimpin oleh orang yang sama dan berkuasa di pemerintahan," ujar Gajah Mada.

Dahi Jayanegara berkerut dan sempat diusapnya. Orang yang berkuasa? Gumamnya pada dirinya sendiri. Kemudian, satu nama muncul dalam benaknya, namun berusaha disanggahnya. Bagaimanapun, orang tersebut adalah pamannya, dan yang selama ini selalu mendukungnya sejak ia dikukuhkan sebagai Yuwaraja (putra mahkota), di kala yang lainnya justru merendahkannya yang hanya putra dari garba seorang putri tawanan.

"Gajah Mada, jangan bilang, bahwa orang itu adalah Paman Halayudha," desis Jayanegara sembari memejamkan matanya.

"Hamba mohon ampun, Gusti Prabu," sahut Gajah Mada yang tertunduk.

Jayanegara menghela napasnya panjang, lalu ia berpikir sejenak tentang bagaimana langkah selanjutnya. Fitnah ini bisa menyebakan hubungan buruk dengan kerajaan bawahan dan akan memicunya pemberontakan yang akan berujung melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit—dan ini sangat berbahaya bagi takhtanya.

"Bila boleh hamba memberikan sebuah gagasan, Gusti Prabu," kata Gajah Mada sembari melirik ke arah Arya Bhanu.

"Silakan, Gajah Mada, katakan."

TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang