Halo ada yang kangen Arya Bhanu nggak, nih,
Karena aku lagi kangen, sebab nulis Hayam Wuruk dari sejak rabu kemarin itu aku belum puas dengan hasil ketikanku, makanya aku nggak berani publis dulu dan malah tadi kepikiran buat ekstra chapter Mas-Mas Mata Sendu ini
Ini timeline-nya sebelum Anggita membatalkan rencana pernikahannya sama Mas Be
Selamat membaca Arya Bhanu, Anggita dan Mas Be
***
Mas Be
Maaf ya hari ini aku nggak bisa menemani cari baju buat lamaran nanti, tapi besok aku udah ngosongin jadwal, khusus buat kita survey vendor, jadi besok pagi aku jemput ya.
Mas Be
Mungkin ini agak aneh dan nggak biasa
Tapi ...
Selamat malam, Sayang.
Mas Be
Pesan dihapus
Mas Be
Selamat malam, Anggita
Anggita hanya tersenyum singkat saat membaca pesan beruntun dari Mas Be, calon suaminya. Dia bahagia dengan Mas Be, itu benar. Beberapa bulan mencoba menjalin hubungan yang singkat, laki-laki itu tidak pernah neko-neko, menjaganya dan memperlakukannya dengan baik, bahkan menunjukkan keseriusannya dengan berani dan langsung melamarnya pada eyang kakeng dan eyang putrinya. Anggita bahagia, harusnya begitu, tapi dia merasakan kejanggalan.
Dia yang terlalu bodoh karena selalu mencari-cari kesamaan antara Mas Be dan Mas Majapahit. Atau dia sendirilah yang membuat hubungan sederhana dan lurus-lurus saja ini menjadi rumit karena pemikiran dan perasaannya sendiri. Entahlah! Dia tidak tahu, sungguh.
Alih-alih membalas pesan Mas Be, Anggita malah menyibukkan dirinya untuk menata kamarnya setelah membersihkan badan setelah bekerja dan keliling ke sana kemari mencari baju kebaya yang cocok untuk dipakai saat lamaran nanti. Lemari bukunya agak berantakan sebab beberapa waktu lalu deadline pekerjaan untuk konten sejarah mengharuskannya membaca beberapa buku dan jurnal sebagai sumber data, Anggita tak sempat untuk menatanya lebih rapi.
Saat menumpuk buku-buku tebal itu dan hendak menaruhnya di rak lemari bagian atas, tiba-tiba saja pandangannya terpaku pada satu buku catatan berukuran B5 dengan warna oranye terselip di antara buku-buku lainnya. Anggita memang sempat mencari buku tersebut beberapa waktu lalu, akan tetapi pekerjaannya serta jadwalnya bersama Mas Be membuatnya lupa.
Anggita duduk di atas meja kerjanya setelah mengambil buku itu, dibukanya halaman paling terakhir pada kertas yang tak bergaris. Hanya warna putih dan polos, bertuliskan namanya. Anggita Jaya Wardhani Ningrum. Pemberian ayahnya dan juga eyang kakungnya. Namun, justru air matanya jatuh berderai saat menyentuh goresan namanya yang ditulis menggunakan aksara Jawa kuna. Ditulis laki-laki dari Majapahit itu. Laki-laki bermata sendu yang membuat hidupnya jungkir balik seperti saat ini.
Mau tak mau, ingin tak ingin, Anggita dipaksa untuk mengingat kembali saat bersama Arya Bhanu. Saat pertama kali laki-laki itu ditemukannya di belakang arca Aksobhya, mengingat kembali bagaimana raut wajah laki-laki itu saat pertama kalinya memakan ayam geprek, berkeliling Surabaya, menemaninya, serta saat bagaimana laki-laki itu akhirnya menggoreskan namanya dalam aksara Jawa kuna.
Anggita sudah seharian ini uring-uringan, selain karena dikejar deadline naskah drama di bagian ending yang belum diselesaikannya, dia juga diharuskan untuk menyiapkan program dan bahan siaran, karena itu kepalanya kali ini terasa ingin pecat dan penat. Hari ini hari Minggu, dan tadi pagi dia bersama Usmanda juga Arya Bhanu sudah berjalan-jalan di Taman Bungkul, menikmati aneka jajanan yang dijual para pedagang. Namun ternyata tidak cukup membuat pikirannya segar, terutama saat sudah di depan laptop.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETED
Historical Fiction--Pemenang Wattys 2022 (Fiksi Sejarah)-- Blurb: Anggita yang bekerja di stasiun radio S di Surabaya, diminta atasannya untuk merancang program drama sandiwara radio, bahkan harus menyiapkan naskah cerita drama tersebut yang harus bertema kolosal. Ke...