27. Peluang, Impian dan Harapan

1.2K 243 9
                                    

Selamat Membaca 😊

***

Beberapa hari ini, Tribhuana sangat sulit untuk tidur. Bayangan wajah laki-laki muda itu terus menganggu pikirannya, terutama saat senyumnya terulas untuk seorang gadis yang Tribhuana sendiri tidak tahu siapa gadis itu, namun yang pasti, mereka berdua terlihat akrab satu sama lain. Hingga saat ini, hatinya terus berdenyut nyeri bila terus mengingatnya.

Semudah itukah laki-laki itu lupa padanya? Tribhuana terus bertanya pada dirinya sendiri. Sayangnya, tidak ada satu jawaban pun yang bisa ia temukan untuk melegakan hatinya sendiri. Tatapannya kosong, sedangkan tangannya meremas kuat golek kayu berbentuk burung pipit yang diberikan Arya Bhanu sebelum berangkat ke Pawitra.

Katuridan? Apa seperti ini rasanya, nyeri dan berdebar secara bersamaan. Setetes air matanya jatuh perlahan kala ia menunduk dan menatap golek kayu tersebut. Jatuh cinta tidak pernah indah untuk orang-orang sepertinya, begitulah kata ibundanya saat itu. Namun, benarkah sama sekali tidak ada kisah cinta yang indah di dunia ini tanpa terhalang kasta atau kekuasaan.

Tribhuana tidak pernah pergi ke mana-mana. Ia selalu berada dalam sangkar emasnya. Sayapnya tidak patah, hanya tidak bisa terbang karena garis ketetapan takdir. Lalu, harus bersyukurkah atau justru meratapi nasibnya yang terlahir sebagai putri Raja besar Majapahit? Sedangkan di luar sana, banyak yang sangat ingin berada di posisinya.

Perlahan, Tribhuana pun mengerti atas ajaran ibundanya sejak ia kecil dan remaja mengenai seluk-beluk hidup di istana, pemerintahan, sosial dan agama. Ia mulai memahami di usianya yang kini sudah delapan belas tahun itu, bahwa ia dan adiknya—Dyah Wiyat—dipersiapkan sebagai penerus takhta kelak, entah bagaimana jalannya, Tribhuana masih belum bisa menebak. Hanya saja, saat ini semuanya terasa jelas, bahwa hidup di istana harus siap dengan segala kemelut dan intrik di dalamnya.

***

"Hati-hati itu bibir bisa kebas kalau terus tersenyum," olok Kudamerta pada Cakradara yang terus memandangi langit malam dengan posisi tubuh yang telentang dan satu tangan yang menumpu kepalanya.

Cakradara tidak memedulikan ejekan temannya itu. Ia hanya terus tersenyum seakan mengingat hal yang lucu. Kudamerta hanya bisa menggeleng pelan melihat temannya itu. Ia melanjutkan kembali membaca lontar yang berada di tangannya. Namun, beberapa saat kemudian, Cakradara berjingkat dan segera duduk menghadap Kudamerta.

"Kemarin setelah pulang dari upacara pemakaman mendiang Prabu Dyah Wijaya, kamu ke mana Kudamerta?" tanya Cakradara dengan pandangan menelisik. Sedangkan, Kudamerta tak menoleh, hanya sedikit terkejut tapi pandangannya masih terarah pada aksara yang terukir di atas daun lontar.

"Kenapa?" Kudamerta balik bertanya.

Cakradara mendekatkan tubuhnya ke hadapan Kudamerta. "Tingkahmu kemarin itu, seperti kancil yang mengendap-endap yang takut ketahuan oleh petani, anehnya lagi, kamu mengarahkan kuda kesayanganmu itu ke arah desa sebelum Tumapel. Jadi ... siapa yang hendak kamu temui Kudamerta?" nada Cakradara terkesan menggoda tapi temannya itu menoleh sekilas dan hanya tersungging tipis.

"Oh ya—" kata Kudamerta sembari menaikkan alisnya yang tebal itu. Kali ini ia akan membalas godaan Cakradara padanya. "Kalau seorang laki-laki meski dia seorang bangsawan, tapi sering mencuri pandang dan bahkan terang-terangan menggoda Sekar Kedaton, kira-kira hukuman seperti apa yang bisa didapatkannya," lanjutnya.

Cakradara berdecak sembari mengangkat satu kakinya untuk menjadi tumpuan tangan kirinya. "Aku tidak menggoda. Lagi pula, aku dan Putri Tribhuana sudah saling mengenal, malah aku ini sangat berjasa pada sang putri, karena berhasil menemukan golek kayunya," jawabnya dengan dada yang membusung penuh.

TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang