Selamat Membaca
5760 kata, semoga kalian nggak mual sama bab yang panjang ini, ya❤😅🙏
***
Majapahit, beberapa bulan setelah masa berkabung
"Kamu yakin dengan keputusanmu itu? Majapahit akan sangat membutuhkan kontribusi dan kemampuanmu, Arya Bhanu?" tanya Gayatri yang berusaha meyakinkan Arya Bhanu sekali lagi atas permintaan pemuda itu yang ingin menepi sementara dari hiruk-pikuk perpolitikan Majapahit. Gayatri memahami bahwa pemuda itu masih terus merasa berdosa atas kematian Jayanegara. "Apa karena Jayanegara?"
Arya Bhanu hanya diam sembari menunduk dan menangkupkan kedua tangannya di atas kepala. "Aku sudah bersumpah akan melindungi nyawamu dan nyawa biyungmu, tidak akan ada yang berani menyentuh kalian. Seperti yang sudah pernah kukatakan bahwa upaya penggulingan takhta Jayanegara bukan karena ambisi menguasai takhta, ini jauh lebih besar dari sekadar takhta."
Di sebelah Arya Bhanu, Gajah Mada dan Mpu Arya Tadah (Mpu Krewes—Mahapatih saat pemerintahan Jayanegara) hanya duduk memerhatikan setiap ucapan Gayatri. Gajah Mada sendiri sebagai tuan dan teman pemuda itu pun tidak bisa berbuat banyak. Arya Bhanu meminta waktu untuk kembali ke penanganggungan selama sebulan, kemudian ia ingin ditempatkan menjaga tempat peribadatan saja, yang berada di area perbatasan, tepatnya di desa yang bernama Kandang Gajah. Di tempat itu terdapat arca Aksobhya dan Siwa sebagai pemujaan dan menghaturkan doa.
"Aku tidak memiliki ambisi kekuasaan, dan salah satu putriku pun begitu. Lalu bagaimana Majapahit akan tetap berdiri bila tidak ada yang memimpin di sini. Majapahit butuh pemimpin bercita-cita besar, bukan sekadar ambisi. Mandala Dwipantara yang pernah dicanangkan mendiang ayahku, adalah cita-cita mulia yang bukan bermaksud untuk merendahkan kerajaan kecil atau bawahan, justru untuk memperkuat dan menghalau dari serbuan musuh yang lebih besar. Sriwijaya di semenanjung Malaka pernah membuktikannya ketika menguasai bagian laut tiongkok selatan. Cita-cita ini memerlukan orang-orang seperti kalian untuk mewujudkannya. Konsisten dan tidak goyah akan hal-hal duniawi yang menyesatkan," tutur Gayatri panjang lebar.
"Hamba akan selalu mendukung dan mengabdi pada raja yang baru, Gusti Putri Rajapatni," ujar Arya Bhanu.
"Harus! Tapi sebelum itu, aku sudah pernah mengatakan bahwa aku sendiri sudah mempersiapkan diri menjadi biksuni dan tidak berniat untuk menjadi raja selanjutnya, apalagi aku sudah renta, harus yang muda dan memiliki keinginan kuat untuk mewujudkan Mandala Dwipantara lah yang memimpin." Gayatri menekan kuat-kuat tiap kata yang diucapkan.
"Jadi, di antara kedua Sekar Kedaton, mana yang akan menggantikan Maharaja yang sudah pralaya?" tanya Mpu Arya Tadah. Laki-laki itu sendiri juga sudah berumur. Saat meninggalnya Jayanegara, ia merasa tugasnya sebagai Mahapatih sudah selesai dan meminta Gajah Mada yang menjabat Patih di Daha untuk menggantikannya, namun Gajah Mada menolak.
"Aku sendiri masih susah memilih apakah Tunggadewi atau Rajadewi, tapi sebelum itu, bukankah sebuah pernikahan harus dilangsukan? Siapa yang akan menjadi suami mereka nantinya yang akan menentukan bagaimana Majapahit ke depan. Aku sendiri tidak ingin salah memilih menantu karena akan berakibat fatal untuk Majapahit," keluh Gayatri sembari melirik Arya Bhanu yang terlihat tenang.
"Bagaimana dengan Pangeran Cakradara dan Pangeran Kudamerta? Tumapel dan Wengker adalah kerajaan bawahan Majapahit yang selalu patuh. Hamba rasa kedua kerajaan dan kedua pangeran ini pun sudah dekat dan kenal dengan kedua putri, bahkan selama sembilan tahun ini pun keduanya belum menikah, Gusti Putri. Hamba hanya menduga, apakah kedua pangeran ini memiliki perasaan pada kedua putri," ujar Arya Tadah.
"Tumapel dan Wengker," ulang Gayatri dengan sorot mata yang sulit dibaca.
"Ya, Gusti Putri. Seperti yang Gusti Putri katakan bahwa pendamping kedua putri tidak boleh memiliki ambisi sebagai raja, tapi haruslah menjadi suami yang baik saat mendampingi kedua putri yang kelak menjadi pemimpin. Hamba sekali lagi berpikir, bahwa baik Tunggadewi ataupun Rajadewi, siapa pun di antara keduanya, tidak masalah. Majapahit bisa belajar dari sejarah kerajaan Medang, yang menikahkan antara putra mahkota Rakai Pikatan dan putri mahkota Pramodhawardhani dari wangsa Syailendra. Keduanya saat menikah, bukan saling tumpang tindih tapi kerja sama dalam membesarkan kedua kerajaan dan memelihara kerukunan," jelas Arya Tadah.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETED
Historical Fiction--Pemenang Wattys 2022 (Fiksi Sejarah)-- Blurb: Anggita yang bekerja di stasiun radio S di Surabaya, diminta atasannya untuk merancang program drama sandiwara radio, bahkan harus menyiapkan naskah cerita drama tersebut yang harus bertema kolosal. Ke...