Selamat membaca
***
"Gusti Prabu, apakah keputusan Gusti Prabu ini sudah dipertimbangkan masak-masak?" tanya Mpu Kapat yang menjabat sebagai Wreddha (jabatan setingkat menteri dan di sini aku jadikan semacam penasihat).
"Maksud, Mpu?"
"Akhir-akhir ini Majapahit terjadi banyak pergolakan yang mengorbankan para punggawa-punggawa pemerintahan. Mahapatih Nambi, Patih Dyah Halayudha dan juga Rakryan Ra Semi. Membuat dan mengumumkan keputusan mengenai para kedua putri, hamba rasa akan kembali menimbulkan gejolak di pemerintahan, khususnya para ibu yang mungkin tidak akan setuju," tutur Mpu Kapat berusaha menjelaskan dengan bijak.
"Aku Raja Wilwatikta, Mpu, kalau kamu tidak lupa. Keputusan dan titah seorang raja adalah perwakilan Dewata, pantang ditolak. Lagipula, ini juga demi adik-adikku agar mereka memiliki pendamping yang layak," kilah Jayanegara.
Mpu Kapat masih tertunduk hormat, berusaha sabar pada Raja muda yang angkuh dan semaunya sendiri itu. "Hamba mengerti maksud Yang Mulila Prabu, tapi secara tidak langsung perintah yang akan Gusti Prabu buat ini akan dimaknai bahwa kedua putri dilarang menikah selama ... Gusti Prabu juga belum memilih permaisuri," ucapnya hati-hati.
Jayanegara mencondongkan tubuhnya pada Sang Penasihat, mengetatkan rahangnya hingga bunyi gigi-giginya yang bergemurutuk itu terdengar jelas. "Mpu Kapat cukup menyampaikan keputusan ini pada saat pertemuan para punggawa pemerintahan dan sentana raja, tidak perlu mengkhawatirkan hal yang bukan wewenang, Mpu," ucapnya dengan lugas.
Lalu ia kembali menegapkan punggungnya dengan kedua tangan yang berada di atas lutut. "Dan, aku paling tidak suka dibantah ataupun diremehkan. Jadi sebaiknya, Mpu Kapat berhati-hati dalam setiap ucapan," kata Jayanegara memperingati Mpu Kapat.
Sang Penasihat sendiri tidak gentar. Sejak zaman Singhasari khususnya pada masa mendiang Kertanegara, ia sudah paham betul bagaimana kerajaan dan para keluarga Raja. Lalu ia mengabdikan dirinya saat masa Dyah Wijaya dan kini putra satu-satunya—yang sayangnya, secara kemampuan kepemimpinan sangat berbeda jauh dengan Dyah Wijaya. Keras kepala tapi juga mudah terhasut. Karena itu, Mpu Kapat hanya bisa sabar setelah nasihatnya tidak didengarkan.
"Hamba, minta maaf, Gusti Prabu."
"Tetap sampaikan titahku pada saat pertemuan besok," titah Jayanegara dengan tegas dan hanya direspons anggukan patuh dari Mpu Kapat.
***
"Pada bulan Kartika tahun 1240 Saka, Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara menetapkan, bahwa selama Wilwatikta dalam kekuasaannya sebagai Maharaja, tidak diperkenankan adanya pernikahan untuk para sentanaraja, termasuk di dalamnya adalah Putri Tribhuana Tunggadewi dan Putri Dyah Wiyat Rajadewi. Demikian ketetapan dan keputusan Sri Maharaja tidak dapat diganggu gugat."
Setelah Mpu Kapat menyampaikan keputusan tersebut pada para pembesar dan keluarga raja, ia melipat lontarnya dan hanya mengembuskan napasnya. Berat rasanya hanya untuk membaca di tiap aksara yang diukir di atas lontar. Ia hanya tidak ingin terjadi pertumpahan darah apalagi tragedi yang bisa saja semakin membuat kerajaan ini hancur. Ia bahkan bisa membaca dengan jelas raut wajah para istri mendiang Prabu Dyah Wijaya yang terkejut dengan ketetapan Sang Raja.
***
"Gajah Mada, bagaimana pergerakan kalian sekarang ini?"
Gajah Mada dapat menangkap ada getar tertahan dalam nada bicara putri mendiang Raja besar yang selama ini memberikan arahannya pada dirinya dan Arya Bhanu.
Apakah mungkin tentang ketetapan Prabu Jayanegara yang disampaikan akhir-akhir ini? Gajah Mada hanya bisa bertanya-tanya dalam hatinya.
"Hamba masih mengamati pergerakan dari Ra Kuti dan kelompoknya, Gusti Putri, namun, berkat keberhasilan dalam menumpas Ra Semi dan juga Dyah Halayudha, hamba dan Arya Bhanu berhasil mendapatkan kepercayaan Gusti Prabu Jayanegara," jawab Gajah Mada.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETED
Historical Fiction--Pemenang Wattys 2022 (Fiksi Sejarah)-- Blurb: Anggita yang bekerja di stasiun radio S di Surabaya, diminta atasannya untuk merancang program drama sandiwara radio, bahkan harus menyiapkan naskah cerita drama tersebut yang harus bertema kolosal. Ke...