Abdi tetaplah abdi. Arya Bhanu menekankan pada dirinya sendiri untuk tahu di mana tempatnya berpijak. Meski tidak pernah terlontar dari ucapan para Sisya langsung, namun Arya Bhanu menyadarinya, bahwa status mereka tidak sederajat. Tidak ada yang merundungnya, hanya sesekali saja meliriknya dengan tatapan tidak bersahabat. Karena itu, Arya Bhanu lebih memilih menjaga jarak, tidak berteman dengan siapa pun dan hanya fokus belajar. Ia sama sekali tidak keberatan dengan jam tidur dan istirahatnya yang berkurang.
Ia bangun sebelum fajar menyingsing dan menyiapkan dulu segala kebutuhan para Emban, lalu saat pagi hari di mana kelas tutur akan dimulai, Arya Bhanu sudah siap untuk mengikuti pembelajaran. Levelnya masih Kaki, sehingga pembelajarannya masih pada hal-hal dasar keagaaman dan moralitas, yakni; tata sila dan tata upacara. Setelah kelas usai, maka Arya Bhanu segera bergegas membersihkan bale, kemudian melanjutkan pekerjaannya sebagai abdi. Di jam istirahatnya saat siang hari, Arya Bhanu sering diajak Gajah Mada menyisir hutan di kawasan Pawitra. Dari sinilah, Arya Bhanu belajar banyak dari sang Tuan Muda, bagaimana memanah dan berburu serta berlatih kanuragan dan beladiri.
Seperti saat ini, Gajah Mada dan Arya Bhanu sedang menyisir kawasan hutan. Mereka berjalan ke arah belakang dari pusat Kadewaguruan. Di tangan Gajah Mada sudah siap panah dan anak panah yang digunakan untuk memburu babi hutan. Sedangkan Arya Bhanu hanya mengikuti Tuan-nya dari belakang.
Gajah Mada menoleh ke arah Arya Bhanu dan memberikan aba-aba agar tidak banyak bergerak. Gajah Mada segera Mengangkat panahnya sejajar dengan bahunya yang tegap dan lebar itu. Satu matanya sudah menyipit dan siap membidik ke arah babi hutan yang masih belum sadar tengah dijadikan sasaran. Saat hendak menarik anak panahnya lepas, sebuah suara dentuman seperti buah besar yang terjatuh dan suara mengaduh kesakitan terdengar. Anak panah Gajah Mada meleset, tapi ia dan Arya Bhanu segera mencari sumber suara.
Keduanya berjalan ke arah kanan dan menyisirkan pandangan, hingga akhirnya menemukan seorang gadis yang tengah meringis kesakitan dan memegang kaki kanannya.
"Magani?" panggil Gajah Mada pada gadis dengan pakaian serba putih bahkan selendangnya pun sama. Menunjukkan bahwa gadis itu juga Sisya di Kadewaguruan. Mungkin nama gadis itu adalah Magani, begitu pikir Arya Bhanu.
Arya Bhanu memperhatikan gadis itu. Entah di tingkat apa, Arya Bhanu tidak tahu. Namun, Arya Bhanu sering melihat gadis itu berkeliaran di Kadewaguruan dan juga sering berada di dekat Ki Lawana.
Gajah Mada berjongkok dan menumpukan tangan kirinya di atas lutut, sedang tangan kanannya memeriksa kaki gadis itu. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini, bahkan sendirian," kata Gajah Mada sembari melihat di sekitar gadis itu, juga terdapat pedang kecil mirip keris dan juga panah dan anak panah yang ada di punggungnya. Gajah Mada sudah bisa menebak bahwa gadis itu tengah melakukan hal yang sama dengannya. Hanya saja, seorang gadis, berjalan sendirian di tengah hutan di lereng Pawitra ini, sungguh bukanlah hal yang baik.
Gajah Mada berdecak pelan. "Apa Ki Lawana tahu kamu sedang berburu di sini?"
"Jangan bilang bopo, Kakang, saya cuma ingin latihan saja," jawab gadis itu sembari memberikan tatapan mata yang memelas pada Gajah Mada.
"Seorang gadis tidak baik berada di tengah hutan begini, sekalipun hanya untuk latihan. Di Kadewaguruan juga banyak tempat untuk berlatih, saya yakin Ki Lawana akan marah besar bila tahu anak gadisnya sering membuat jantungnya hampir lepas."
Gadis bernama Magani itu hanya merespons dengan cengiran tipis, sehingga menampilkan gigi gingsulnya. "Kalau bopo marah, seperti biasa, Kakang Gajah Mada adalah murid kesayangan bopo, sehingga Kakang bujuk saja, ya?"
Gajah Mada hanya menggeleng. Ia sudah biasa dengan Magani yang memang agak manja padanya dan menganggapnya seorang adik. Magani masih mempertahankan aksi manjanya pada Gajah Mada, sembari ia menatap pada pemuda yang sebaya dengannya, tengah berdiri di belakang Gajah Mada. Magani tahu bahwa remaja pria itu adalah abdi Gajah Mada dan diberikan kesempatan untuk bisa belajar di Kadewaguruan. Namun, Magani tidak pernah tahu, siapa pemuda yang cenderung diam dan tidak banyak berbicara tapi tangan dan kakinya selalu terampil mengerjakan tugas-tugasnya, bahkan Magani pernah melihat Arya Bhanu sering belajar di malam hari. Hal ini mengusiknya dan membuatnya penasaran dengan pemuda yang sekarang sudah berdiri tepat di hadapannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETED
Historical Fiction--Pemenang Wattys 2022 (Fiksi Sejarah)-- Blurb: Anggita yang bekerja di stasiun radio S di Surabaya, diminta atasannya untuk merancang program drama sandiwara radio, bahkan harus menyiapkan naskah cerita drama tersebut yang harus bertema kolosal. Ke...