29. Curi Pandang

1K 226 3
                                    

Selamat Membaca🥰

Gitarja ...

Panggilan itu hanya sayup-sayup didengar Anggita. Kabut putih yang pekat menghalangi pandangannya. Entah di mana kini ia berada, Anggita tidak tahu. Tangannya dikibas-kibaskan, berharap agar kabut sedikit hilang, sembari terus melangkahkan kakinya ke depan. Anehnya, Anggita baru tersadar bahwa ia masih mengenakan pakaian yang sama—yang digunakan untuk kepentingan pemotretan program radio.

Pandangannya terarah pada sekelilingnya. Di mana terdapat dinding pagar yang terbuat dari batu bata merah yang mengelilingi sebuah taman. Anggita terus berjalan dan menemukan sebuah pohon beringin besar yang berdiri kokoh. Ia tersentak saat melihat seorang gadis kecil mengenakan pakaian seorang putri berwarnah hijau dengan hiasan di gelungan kepalanya yang indah. Gadis kecil itu tampak memberikan isyarat dengan telunjuknya yang berada di bibir, entah pada siapa, sehingga membuat Anggita mengikuti arah pandang gadis itu yang ternyata tanpa disadarinya, ada seorang pemuda dengan pakaian yang sangat biasa. Anggita mengernyitkan dahinya—merasa mengenali sosok pemuda remaja yang tidak terasa asing baginya.

Kemudian dalam sekejap berubah. Kali ini yang dilihatnya adalah remaja pria itu menggendong si gadis kecil yang tampak malu-malu. Baru saja, ia ingin tersenyum, seakan ikut merona dan merasakan apa yang sedang dialami gadis kecil itu, tapi penglihatannya berganti kembali dengan cepat membuat Anggita sedikit limbung ke belakang. Dadanya serasa terhimpit dan sesak, kala ia mencium bau anyir darah. Pandangannya kabur bersamaan dengan air matanya yang luruh tak terbendung. Ia hanya bisa membeku di tempatnya berdiri.

Anggita ingin meraung namun suaranya teredam. Tangisnya hanya berselimut sunyi. Ia memaksakan diri untuk memejamkan mata, berharap segala penghilatannya berakhir. Karena hal terakhir yang dilihatnya adalah kecelakaan nahas yang menimpa kedua orang tuanya. Wajah ibu dan ayahnya yang tersenyum sebelum menutup mata untuk selamanya, serta ibunya yang menggumamkan namanya dengan lirih. Sebelum Anggita ditarik kembali dalam bunga tidurnya, netranya menangkap sebuah kotak emas yang berada di atas pangkuan ibunya. Namun, sebelum mengenali lebih jauh benda itu, semuanya berubah menjadi gelap ketika ia mendengar seruan memanggil namanya dan menyeretnya paksa untuk menjauh.

***

Usmanda yang sudah tidak sabar dengan apa yang dilakukan oleh Arya Bhanu, langsung saja menepuk keras bahu pria itu. "Ini si Nenek Lampir kamu jampi-jampi apa? Kok tetep nggak bangun-bangun juga?" tanya Usmanda yang mulai gusar.

"Saya bukan memantrai Gita, hanya ... memanggil." Memanggilnya seperti saat itu, bisik Arya Bhanu dalam batinnya sendiri.

"Manggil apa? Hantu? Emang si Nenek kesurupan?" Usmanda terus saja bertanya. Dan, Arya Bhanu hanya menggeleng. Namun, ia mengerjap lambat beberapa detik, kala merasakan tangan Anggita yang digenggamnya bergerak pelan. Rintihan lirih terdengar dari bibir Anggita yang kering. Cakra yang menyadari Anggita sudah sadar, segera saja bersimpuh dekat kepala Anggita dan memanggil nama gadis itu. "Nggit, ini aku Cakra," ucapnya yang mendapat dengusan kasar dari Usmanda.

Perlahan, kelopak mata Anggita terbuka, dan tangannya yang terasa dingin, kini menghangat ketika Anggita semakin mempererat tangan yang tengah menggenggamnya itu. Ia melihat sekelilingnya, tampak wajah-wajah yang tengah memperhatikannya dengan raut cemas.

"Git, udah sadar?"

"Mbak Gita beneran kuat nggak ini buat ngelanjutin pemotretan?"

Usmanda hanya memutar bola matanya mendengar seru-seruan tersebut. Batinnya berteriak, ya iyalah udah sadar dan bangun, lha wong matanya aja udah melek gitu. Namun, bibirnya tak hanya gatal untuk berkomentar, karena kini tangannya sudah meninju lembut lengan Cakra atas ucapannya yang membuat Usmanda geli.

TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang