17. Desir

1.3K 292 9
                                    

Kakek terus menatap Arya Bhanu yang terlihat berbinar cerah saat membuka kotak nasi berisikan ayam geprek. Pemuda itu seolah lupa akan kikuk dan canggungnya beberapa waktu lalu. Ia bahkan mengangguk terlebih dulu untuk meminta izin menyantap makanannya yang direspons Kakek dengan sebuah anggukan dan senyum tipis.

Anggita sendiri hanya bisa mengunyah makanan dengan pelan dan terasa hambar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Anggita sendiri hanya bisa mengunyah makanan dengan pelan dan terasa hambar. Larangan dari Kakeknya, masih menjadi ganjalan. Logikanya masih menyangkal, tapi juga tidak tahu harus berbuat apa karena minimnya petunjuk tentang Arya Bhanu dan maksud keberadaanya di sini. Sesekali Anggita melirik ke arah pemuda dari Majapahit itu. Setiap gerak-geriknya yang kaku dan raut bingungnya ketika menerima segala kehidupan di masa kini, kadang membuat Anggita merasa gemas.

"Nduk, dimakan sampai habis, jangan sampai nyisain makanan," tegur sang Nenek pada Anggita.

"Nggih, Uti."

Sang Nenek mendekat kemudian berbisik pada Anggita. "Tumben, Nduk, kamu punya temen cowok yang normal. Selama ini kan kamu enggak pernah bawa temen cowok selain Usman. Badannya itu lho Nduk, kueker ya Nduk, kulitnya kalau kata orang bule eksotis, muanis Nduk areke, cocok," puji Nenek pada sosok Arya Bhanu.

Anggita menaikkan alis kanannya atas pujian sang nenek pada Arya Bhanu. "Cocok sama siapa Uti?"

"Ya sama kamu lah, sama siapa lagi," jawab Nenek yang terkekeh pelan saat melihat cucunya itu malah tersedak hingga batuk-batuk dan membuat dua orang pria dan satu pria jadi-jadian melihat langsung ke arah Anggita.

Anggita semakin salah tingkah saat Arya Bhanu menatapnya dengan tatapan yang tak biasa. Mungkin Anggita terlalu besar kepala atau terbawa perasaan atas kata-kata cocok dari sang Nenek, karena kini pikirannya itu seolah mengatakan jika Arya Bhanu terlihat khawatir padanya.

Cepat-cepat Anggita mengalihkan pandangannnya, sebelum jantungnya itu berdenyut semakin kencang dan siap meledak.

"Kenapa Nek? Keselek tulang ayam atau terhujam tatapan tajam penerus Dalai Lama?" goda Usmanda dengan berbisik.

Anggita melotot lalu mengumpat. "Cuaks!"

"Nduk, arek wedok, enggak boleh itu misuh-misuh," tegur sang Nenek. "Usman juga gitu, jangan malah digodain tapi bantuin comblangin."

Usmanda meledakkan tawanya, karena nyatanya sang Nenek justru ikut menggoda Anggita yang kini wajahnya sudah merah padam.

Hanya Kakek dan Arya Bhanu yang tetap diam dan tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Kakek Anggita semakin merasa yakin bahwa cucunya terikat karma dengan Arya Bhanu. Hanya saja, ia tidak yakin apa yang akan terjadi nantinya.

***

Arya Bhanu duduk di kursi depan karena Usmanda mengaku mengantuk dan ingin tidur di kursi penumpang belakang. Beberapa menit Anggita mengendarai mobil, suara dengkuran Usmanda sudah terdengar.

TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang