Selamat Membaca
***
Setelah proses pemotretan yang hampir memakan waktu dua jam itu, Anggita segera bergegas membersihkan wajahnya dari sisa make up dan mengganti pakaiannya, begitu pula dengan yang lainnya. Pukul tiga sore, semua kru sudah meninggalkan kaki gunung penanggungan. Anggita masih menumpang di mobil Cakra begitu pula dengan Arya Bhanu dan Usmanda yang tetap duduk di belakang.
Entah karena hari yang mereka berempat lalui terlalu melelahkan atau sebab yang lainnya, perjalanan pulang kembali ke Surabaya terasa begitu sunyi. Anggita duduk di sebelah Cakra yang sedang mengemudi, hanya melihat ke arah jendela. Sesekali Anggita masih mencuri pandang ke arah Arya Bhanu yang duduk di sebelah kanan dari kaca spion. Laki-laki itu sendiri hanya terus melihat ke arah jalanan. Sejak tadi, Anggita sama sekali tidak berbincang apa pun dengan Arya Bhanu, padahal ada banyak pertanyaan di kepalanya. Dia merasa bingung harus mulai dari mana. Bertemu pandang saja sudah membuat jantungnya berdebar hebat dan perut melilit, apalagi bila mendengarkan suara Arya Bhanu yang dalam, bisa-bisa Anggita kembali jatuh pingsan.
Suasana mobil yang sunyi, tiba-tiba terganggu oleh suara dengkuran Usmanda, membuat tiga orang lainnya yang mau tak mau harus tertawa terutama Cakra dan Anggita, sedang Arya Bhanu menoleh cepat dengan menyunggingkan bibirnya sangat tipis sembari menggeleng.
"Laki juga si Usman kalau tidur," celetuk Cakra.
Anggita yang masih tertawa pun menyahut. "Jangan salah, Usman tuh luarnya aja yang lenjeh tapi dalamnya mah laki tulen."
"Eh, kamu pernah lihat dalemannya si Usman, Git?"
Anggita melotot pada Cakra dan mengibaskan tangannya. "Ngawur! Bukan daleman yang itu! Ngeres aja ya tuh otak!"
Dengan tidak canggung, Cakra malah mengusap-usap puncak kepala Anggita dengan gemas. "Bukan gitu Anggita," ucap Cakra lembut. "Kan kalian tinggal serumah bareng udah lama, udah pasti kenal banget satu sama lain, tapi nggak cinlok atau menjalin FWB-an sama Usman kan, Git?"
"Kamu kali yang megang prinsip FWB-an, aku sama Usman mah friend with barokah," jawab Anggita.
"Duh, jangan cemburu gitu dong, Git. Kan aku tuh udah bilang kan kalau udah taubat. Udah waktunya nyari istri bukan lagi pacar-pacar gitu."
Anggita berdecak pelan. Bibirnya ditipiskan ke bawah, sembari mengangguk-angguk dengan kedua bola matanya yang memutar. Respons Anggita yang masih terlihat tidak percaya padanya, malah membuat Cakra semakin gemas dan ingin terus berjuang mendekati Anggita kembali. Baru saja Cakra hendak melemparkan kembali rayuannya, suara benda jatuh dari kursi belakang, sontak membuatnya dan Anggita menoleh.
Dengan wajah datar dan mata yang mungkin memang sudah diciptakan sendu itu, Arya Bhanu mengambil botol air mineral kemasan. "Maaf ... jatuh," ucapnya tanpa merasa bersalah sembari menatap Anggita yang sudah menoleh ke arahnya. Mereka saling berpandangan beberapa saat, hingga akhirnya Arya Bhanu kembali menegapkan tubuhnya dan memutuskan pandangan matanya-segera beralih kembali menatap jendela.
Anggita hanya bisa mendesah lirih dan kembali memutar tubuhnya menghadap ke depan. Wajahnya sedikit tertunduk dan memainkan jari-jemarinya. Sesuatu seakan menyengat dadanya hingga terasa sedikit perih. Dia merasa seperti diabaikan oleh Arya Bhanu.
Pemandangan di luar jendela memang indah, tapi bukan itu yang tengah menyita pikiran Arya Bhanu. Tangannya bahkan sedikit meremas botol kemasan mineral tersebut dan enggan menatap ke depan. Pembicaraan antara Anggita dan laki-laki yang diketahuinya bernama Cakra, agak menganggunya. Jika di zamannya, ia tidak akan berani bertindak seperti ini, tapi mengapa dengan bodohnya, justru ia melakukan hal yang menarik perhatian.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETED
Historical Fiction--Pemenang Wattys 2022 (Fiksi Sejarah)-- Blurb: Anggita yang bekerja di stasiun radio S di Surabaya, diminta atasannya untuk merancang program drama sandiwara radio, bahkan harus menyiapkan naskah cerita drama tersebut yang harus bertema kolosal. Ke...