"Biyung ...." Arya Bhanu memanggil bibinya yang ia panggil biyung. Wanita berusia empat puluh tahunan itu pun segera menghambur ke arah Arya Bhanu, memeluknya begitu erat. Isak tangis dari bibirnya seakan tidak bisa lagi ditahan wanita itu.
"Ya ampun Nak," ucapnya seraya membelai rambut hingga wajah Arya Bhanu. Meski bukan dari rahimnya, Darsana sangat menyayangi keponakannnya itu. "Biyung rasanya hancur waktu kamu masuk pakunjaran, Biyung bingung gimana harus nolong kamu, Nak."
"Maafin Arya Bhanu, Biyung, sudah membuat Biyung cemas, berkat Gusti Prabu Dyah Wijaya yang bijaksana, saya bisa bebas."
Masih dengan jejak basah di pipinya, Darsana menatap Arya Bhanu dengan heran. "Benarkah? Kamu masih bisa bekerja menjadi Pekatik lagi?"
Arya Bhanu menundukkan wajahnya. Mendengar pertanyaan biyungnya, membuat Arya Bhanu merasa bersalah. "Saya akan dipindahkan ke gunung Parwitra, Biyung, di sana mungkin akan menjadi tempat saya tidak hanya menjadi Pekatik tapi juga bisa belajar hal lainnya," ucap Arya Bhanu berusaha membesarkan hati Darsana.
"Gunung Parwitra? Cukup jauh dari sini Nak." Air mata Darsana kembali luruh. Arya Bhanu bersimpuh di depan Darsana sembari memegang kedua tangan wanita itu.
"Ini garis hidup saya, Biyung, bagaimanapun saya membuat kesalahan karena ceroboh tidak mengetahui bahwa yang saya temui adalah Gusti Putri Tribhuana, Biyung doakan saya saja, agar di mana pun saya, akan selalu dilindungi oleh Dewata."
"Tentu, Nak, Biyung akan selalu mendoakanmu, kita ini hanya orang kecil, sebisa mungkin dalam setiap langkahmu ke depan jangan pernah bersinggungan lagi dengan para penguasa, jadilah orang yang selalu menjejak tanah, ingat di mana asal dan siapa kamu, jangan pernah ingin memiliki ambisi apa pun, bisa hidup dan makan itu sudah cukup. Biyung tidak sanggup bila melihat kamu akan mengalami hal seperti ini lagi, Nak."
Arya Bhanu hanya menatap biyungnya dengan sebuah senyuman tipis. Ia tidak ingin berjanji tapi juga tidak ingin menyanggah biyungnya, bukan berarti ia tidak ingin patuh, tapi jalan hidup manusia tidak akan pernah tahu.
"Kapan kamu akan berangkat ke gunung Parwitra, Nak?"
"Setelah perayaan maleman, Biyung. Saya akan berangkat bersama dengan para prajurit lain yang dikirim ke sana oleh Gusti Prabu."
"Biyung akan menyiapkan semua bekalmu nanti, Nak."
"Terima kasih, Biyung."
"Temuilah Bongol temanmu itu pasti akan sangat kehilanganmu nanti."
"Baik Biyung," ucap Arya Bhanu sembari berdiri dan berpamitan untuk menuju kandang kuda.
Meninggalkan dapur istana, Arya Bhanu berjalan ke tempat biasanya bekerja bersama temannya Enes dan Bongol. Hanya saja kali ini terasa tidak nyaman baginya. Beberapa prajurit secara terang-terangan menatap tidak suka dan mencemooh, seakan Arya Bhanu adalah penjahat. Namun, ia memilih untuk membiarkan tatapan dan gunjingan itu. melewati Mandapa, ada rasa yang tak biasa dirasakan Arya Bhanu. Aroma bunga melati yang lembut seakan terus mengikutinya hingga membuat degup jantungnya berdetak lebih cepat. Ia mengepalkan tangannya sendiri karena merasa bodoh akan ingatan saat menggendong tubuh sang Putri Raja.
Arya Bhanu mengingatkan dirinya bahwa itu adalah hal yang kurang ajar bagi dirinya yang hanya berkasta rendah. Mengenyahkan pikirannya dengan menggeleng tegas dan segera berjalan lebih cepat agar sampai di kandang kuda untuk menemui teman-temannya dan bekerja.
Dari kejauhan, remaja pria seusianya tampak berlari dengan cepat dan segera menghamburkan tubuhnya yang lebih berisi dan gembul dari Arya Bhanu itu. Namanya adalah Bongol, kulitnya sedikit lebih cerah, namun tinggi tubuhnya lebih pendek dari Arya Bhanu. Bongol dan Enes, sama-sama Pekatik muda. Mereka bertiga sering bersama untuk membersihkan kandang kuda dan merawat kuda-kuda yang ada di istana.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETED
Historical Fiction--Pemenang Wattys 2022 (Fiksi Sejarah)-- Blurb: Anggita yang bekerja di stasiun radio S di Surabaya, diminta atasannya untuk merancang program drama sandiwara radio, bahkan harus menyiapkan naskah cerita drama tersebut yang harus bertema kolosal. Ke...