46. Alasan Dibalik Sebuah Duka

968 195 7
                                    

 Warning 18+ 

Selamat Membaca

***

Beberapa bulan sebelum pembunuhan Jayanegara

Dyah Wiyat terlihat murung. Hari ini, dia akan ke kotaraja, dalam rangka kunjungan kerja untuk melaporkan perkembangan di Daha. Namun, langkahnya terasa berat ketika akan sampai di kotaraja. Berita pernikahan Ra Tanca dengan seorang wanita yang ditemui laki-laki itu, benar-benar menghancurkan hatinya. Dyah Wiyat merasa tidak apa bila dirinya dan Ra Tanca tidak bisa bersamam setidaknya mereka dalam perasaan yang sama.

"Gusti Putri Bhre Daha, kita sudah sampai di kotaraja," ucap Magani menyadarkan lamunan Dyah Wiyat.

Dyah Wiyat hanya mengangguk pelan lalu turun dari kereta kudanya. Berjalan menuju keputren tempat tinggalnya dulu. Magani hanya memperhatikan Dyah Wiyat yang tampak kosong. "Gusti Putri, apakah ada yang Gusti Putri inginkan? Saya akan ke dapur menemui emban Darsana dan memintanya untuk membuatkan makanan dan minuman yang akan menghilangkan kepenatan," tawar Magani.

Dyah Wiyat menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Magani. "Kamu pernah patah hati?"

Magani terkesiap dengan pertanyaan dadakan Dyah wiyat. Dia hanya mengerjapkan matanya saja. Patah hati? Sudah dirasakannya beberapa tahun lalu. Sakitnya bahkan masih membekas hingga sekarang, dan bodohnya, dia masih mencintai temannya itu.

"Arya Bhanu 'kan?" tembak Dyah Wiyat yang kini malah terlihat menajam pandangannya.

"Dia menyukai Yundaku, pun sebaliknya, dan kamu mencintainya. Setidaknya mereka sampai saat ini, sama-sama tidak ada yang menikah. Tapi laki-laki yang aku sukai, dia menikah. Artinya dia tidak menyukaiku lagi 'kan? Meski sampai kapan pun juga kami tidak pernah bersatu, tapi kenapa harus dia menikah dulu sebelum aku!" Dyah Wiyat menghela napasnya. Dia sangat terlihat emosional.

"Gusti Putri," gumam Magani yang ikut merasakan kesedihan Dyah Wiyat.

"Lupakan! Minta pada emban Darsana untuk membuatkan aku makanan dan minuman yang enak," titahnya dan segera berjalan cepat menuju keputren.

Magani hanya melihat punggung Dyah Wiyat yang sudah berlalu darinya. Mau bagaimanapun caranya, patah hati tetap menyakitkan. Lukanya tidak akan pernah mengering, sebelum rasa ikhlas itu benar-benar dilakukan bukan sekadar diucapkan. Magani tidak hanya sekali berjuang meyakinkan Arya Bhanu, tapi laki-laki itu tetap bergeming dan teguh pendiriannya.

Lalu, dia harus apa bila Arya Bhanu tidak dapat melihatnya sebagai wanita di hatinya bukan hanya sebagai teman. Dia pun berusaha mengikhlaskan, tapi sampai saat ini, logikanya selalu keras menolak. Dia sungguh khawatir akan laki-laki itu, bahkan akhir-akhir ini. Sembilan tahun ini, keadaan Majapahit cenderung stabil dan tidak ada pergolakan. Namun, semua ini terlihat lebih menakutkan, bahwa ketenangan ini mengendapkan banyak hal dan bisa meledak suatu saat, hanya karena satu hal: takhta.

***

Tribhuana melihat kedatangan adiknya. Dia berdiri dan hendak menyambut. Namun, dahinya berkerut kala melihat tatapan tidak bisa dari adiknya itu. "Dinda Dyah Wiyat," panggilnya, tapi adiknya itu malah melengos dan tetap berjalan ke arah kediamannya.

Tribhuana mengikuti hingga ikut masuk ke dalam kamar Dyah Wiyat. "Kamu kenapa?" tanyanya dengan lembut. Tribhuana terkejut saat melihat adiknya sudah terisak kencang dan memeluknya.

"Benar kata ibunda, bahwa jatuh cinta akan sangat menyakitkan bagi kita yang menyukai seseorang yang tak sepadan dengan kedudukan kitam" ucapnya disela isak tangisnya.

Tribhuana hanya kembali mengernyit tapi masih memeluk erat adiknya. "Sekarang aku tidak akan peduli apa pun lagi, Yunda, dengan siapa pun nantinya yang akan menjadi suamiku, aku tidak peduli. Lebih baik hidup dengan benar tanpa lagi merasakan cinta."

TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang