Kobaran api masih menyala, melahap jasad mendiang Sang Prabu. Nyala merahnya seakan ikut menyalakan kesedihan bagi kelima istrinya dan ketiga putra-putrinya. Putri Tribhuwaneswari dan Dara Petak terlihat paling sembab dan lemah dengan kematian Sang Prabu. Sedangkan istri keempat yakni Putri Gayatri Rajapatni terlihat paling tegar di antara kelimanya. Saat air matanya luruh, dengan segera ia mendongak lalu menghapusnya. Bukan berarti ia tidak merasa kehilangan sama sekali, tapi Gayatri yang mulai banyak mendalami ajaran Budha, meyakini bahwa ketetapan manusia yang harus dijalani salah satunya adalah kematian.
Kematian akan selalu meninggalkan duka dan menyisakan kenangan, akan tetapi kehidupan pun terus berjalan. Masih banyak tugas yang harus dilaksanakan, terlebih lagi peninggalan Sang Prabu bukanlah hal yang kecil. Nasib kerajaan dan rakyat Majapahit akan sangat ditentukan siapa dan bagaimana yang memimpin, sehingga kesedihan yang berlarut setidaknya akan membuatnya tidak dapat fokus pada masa depan.
Setelah upacara kematian Sang Prabu, para senataraja kembali ke istana. Namun, kelima istri mendiang Prabu Dyah Wijaya dan beberapa petinggi Majapahit berkumpul di Bale Witana.
"Pembicaraan mengenai pergantian posisi mendiang Prabu hendaknya jangan saat ini Dyah Halayuda, karena bagaimanapun, Wilwatikta masih berduka," tegur Mpu Nambi yang merasa tidak etis bila membahasnya saat ini.
Dyah Halayuda yang merasa tidak senang dengan ucapan Mpu Nambi hanya menaikkan alisnya sedetik, kemudian tatapannya beralih pada kelima istri Prabu Dyah Wijaya yang duduk berjejer di depan. Dyah Halayuda mengangkat kedua tangannya lalu ditangkupkan kedua telapaknya sedikit di atas kepala. Sambil menunduk sebentar, ia berkata, "Maafkan Hamba Gusti Putri sekalian, tidak ada maksud untuk tidak bertata krama. Hamba hanya memberikan pendapat, agar penabalan Yuwaraja Jayanegara segera dilaksanakan agar tidak terjadi kekosongan kepemimpinan."
Kelima istri Prabu Dyah Wijaya saling lirik atas pendapat Dyah Halayuda. Istri tertua—Putri Tribhuaneswari—menghela napasnya lelah, lalu ia pun memberikan tanggapan. "Saya mengerti kegelisahan kamu Patih Halayuda, kita semua di sini mengerti dengan sangat jelas, bahwa yang akan naik takhta adalah Yuwaraja Jayanegara. Namun, mengangkat singgasana dengan tergesa-gesa dalam suasana berkabung, saya rasa tidak tepat."
Dyah Halayuda mendengkus lirih, meski tatapannya tak tajam, tapi hatinya bergemuruh dengan tanggapan Putri Tribhuaneswari. Suasana mendadak hening saat, namun, tindak tanduk Dyah Halayuda ini, tidak luput dari pengamatan Gayatri.
"Yunda...."suara Gayatri memecah kebekuan. Perhatian semua yang ada di Bale Witana terpusat pada Gayatri. "Mohon maaf bila Dinda menyela dan memberikan tanggapan," ucapnya sekali lagi dengan lembut.
Tribhuaneswari mengangkat tangan kanannya—mempersilakan adik bungsunya itu untuk berpendapat. "Silakan Dinda."
Sebelum mengutarakan pendapatnya, Gayatri mengulas senyumnya seraya menyisir pandangannya ke depan—pada Mahapatih, Patih, Senopati dan punggawa kerajaan lainnya yang hadir dalam pertemuan ini.
"Keresahan Patih Halayuda, saya yakin juga merupakan keresahan bersama juga seluruh rakyat. Seperti yang Yunda sampaikan, bahwa takhta Majapahit sudah pasti adalah hak Yuwaraja Jayanegara dan tidak bisa diganggu gugat. Akan tetapi, melakukan penabalan pun tidak bisa sembarangan. Ada prosesi yang harus dilakukan. Tidak serta-merta harus dilaksanakan sekarang. Rakyat pun harus tahu, kapan dilaksanakan pengangkatan raja selanjutnya. Namun, tentu pelaksanaannya pun tidak bisa terlalu lama, mengingat kerajaan harus segera dipimpin Raja. Sehingga menurut hemat saya, ada baiknya kita memberikan jeda tujuh hari, baik untuk masa berkabung dan mempersiapkan proses pengangkatan Yuwaraja Jayanegara menjadi Raja selanjutnya."
Pendapat Gayatri mendapat anggukan dari beberapa punggawa yang hadir, meski tidak puas dengan apa yang disampaikan oleh Gayatri, Dyah Halayuda tidak bisa menyanggahnya. Ia berusaha keras untuk menahan diri karena posisinya saat ini masihlah belum kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETED
Historical Fiction--Pemenang Wattys 2022 (Fiksi Sejarah)-- Blurb: Anggita yang bekerja di stasiun radio S di Surabaya, diminta atasannya untuk merancang program drama sandiwara radio, bahkan harus menyiapkan naskah cerita drama tersebut yang harus bertema kolosal. Ke...