18. Kotak Emas

1.3K 297 10
                                    

Tak ada yang harus diragukan olehnya. Menjadi seorang Abdi, mungkin adalah garis hidupnya. Sejak kehilangan orang tua dan hanya memiliki Darsana yang sudah ia anggap sebagai biyung, Arya Bhanu sadar bahwa ia terlahir untuk mengabdi. Karena itu, saat mendapat tawaran dari Gajah Mada, ia segera mengangguk dan menyanggupi segenap hati.

Pikirnya sederhana, ini sebuah kesempatan.

Maka, sejak hari di mana ia menyanggupi, Arya Bhanu resmi menjadi Sisya di Kadewaguruan. Memakai pakaian yang sama dengan para Sisya, meski tetap saja, Abdi tetaplah Abdi. Pekerjaan itu akan tetap tersemat padanya.

***

Tribhuana jalan lebih pelan hingga ia tertinggal oleh adiknya yang punggungnya sudah menjauh ke depan. Setiap melewati Mandapa, membuatnya tak ingin beranjak. Raganya seakan selalu terhisap oleh magnet Mandapa yang tak kasat mata hingga membuat dadanya sering berdenyut berirama. Meski masih berjalan perlahan dan diiringi oleh beberapa Emban juga dua orang prajurit, Tribhuana menyisir pandangan ke arah sangkar burung pipit. Sorot matanya makin menyendu ketika mengingat bahwa golek kayunya masih belum bisa ia temukan.

Sejenak, langkahnya terhenti, menarik napasnya dalam lalu kembali menatap lurus ke depan. Sebelum kakinya kembali menghela langkah, seorang pemuda dengan pakaian yang bisa Tribhuana nilai bahwa pemuda itu adalah anak salah seorang bangsawan. Pemuda itu menatapnya dalam lalu menampilkan sebuah simpul senyum yang misterius.

Tribhuana berusaha mengabaikannya dan terus berjalan, hingga akhirnya ia akan berjalan melewati pemuda yang ia taksir sebaya dengan usia kakak tirinya itu. Hanya berjarak tak kurang dari satu setengah meter dari arah pemuda itu berdiri, terlihat pemuda itu sudah menundukkan kepalanya seraya masih menyunggingkan bibirnya. Tribhuana hanya sedikit menaikkan alisnya lalu mengedikkan bahunya, karena merasa aneh dengan pemuda bangsawan itu.

"Rahayu ... Gusti Pustri," kata pemuda itu dengan berani saat Tribhuana sudah berada dekat di hadapannya.

Tribhuana menghentikan langkahnya dan menyempatkan untuk menoleh ke arah pemuda itu, hanya membalas sekenanya dengan mengangguk pelan. Langkah Tribhuana kembali tertahahan, ketika pemuda itu kembali mengeluarkan suara.

"Hamba Cakradara dari Tumapel, mohon Gusti Putri Tribhuana mengingatnya."

Tribhuana menatap heran pada pemuda itu hingga dahinya mengerut. Ingin Tribhuana tergelak dengan keberanian si pemuda yang begitu lancang. Ia hanya menggeleng lantas berlalu pergi, meninggalkan si pemuda bangsawan yang tak terlihat gentar, senyumnya malah terkembang dengan sempurna. Tangan si pemuda itu memeriksa kampilnya yang dikaitkan pada timangnya.

"Ah ...." desahnya lega saat ia masih menemukan sebuah benda berada di dalam kantung kecilnya itu. "Tahap pertama sudah, selanjutnya tahap kedua," bisiknya pada dirinya sendiri. Cakradara berbalik dan menaiki tangga dengan tangannya yang saling bertaut di belakang pinggangnya. Siulnya mengalun merdu dan ringan, seringan langkahnya yang sedang merasa bungah.

"Cakradara, ke mana saja?" tanya seorang pemuda yang berperawakan hampir sama dengannya.

"Melihat bulan," jawabnya asal hingga membuat temannya itu mengerutkan kening.

"Mana ada bulan di siang hari begini, Cakradara?!" cibirnya pada Cakradara yang justru malah kian terkekeh.

"Ah, Kudamerta, kamu belum tahu saja, bulan di Kedaton ini tak hanya ada di malam hari tapi ia selalu ada setiap saat, sinarnya cantik dan terang. Makanya jangan cuma main kuda saja, biar bisa merasakan indahnya karunia Dewata yang menurunkan widadari-widadari dalam wujud perempuan."

Temannya yang beralis lebat dan bernama Kudamerta berasal dari Wengker itu hanya menggeleng geli, merasa ada yang aneh tapi tak tahu apa. "Sudahlah, semakin ngelindur saja ucapanmu, sebentar lagi kelas Mpu Bahaduri akan dimulai dan jangan sampai Yuwaraja menunggu kita untuk memulai pembelajaran."

TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang