10. Mulai Terbiasa

1.7K 330 13
                                    


Seharusnya Arya Bhanu segera tidur malam ini setelah perayaan maleman usai. Esok pagi-pagi, ia dan biyungnya akan meninggalkan kedaton Majapahit untuk pulang ke rumah mereka yang terletak di perbatasan Kahuripan dan Trowulan, membutuhkan waktu hingga tengah hari untuk sampai ke rumah mereka. Namun, Arya Bhanu tidak bisa memejamkan mata, padahal di sebelahnya, kedua temannya-Enes dan Bongol sudah terlelap bahkan mendengkur. Di dalam kamar sempit yang bersebelahan dengan kandang kuda itu, Arya Bhanu menatap ke arah jendela yang hanya terbuat dari teralis bambu. Ia menatap ke arah rembulan yang bentuknya malam ini bulat penuh, begitu cantik dengan sinarnya yang terang.

Pungguk tak akan pernah bisa memeluk rembulan ... Arya Bhanu mengingat akan kalimat Pak Tua yang misterius itu. Ia mengerti bahwa dirinya hanyalah pungguk, tapi tidak salah bukan bila pungguk mengagumi keindahan sang rembulan? Mungkin hanya itu yang bisa ia lakukan. Lagi pula, sebentar lagi ia akan meninggalkan kotaraja dan entah apakah akan bisa kembali ke istana ini atau akan selamanya berada di Parwitra, hanya Dewata yang tahu.

Tribhuana pun sama tidak bisa memejamkan matanya. Tangannya masih mengenggam golek kecil berbentuk burung pemberian Pekatik muda bernama Arya Bhanu. Sejak mengetahui namanya, pikirannya seakan terus menyerukan nama si Pekatik muda itu.

Arya Bhanu ...

Arya Bhanu ...

Menyebut namanya saja, sudah membuat jantung Tribhuana tak keruan. Mungkin dirinya harus bersyukur karena kenekatannya untuk berkeliling istana dan bertemu dengannya di Mandapa, atau justru kini harus sedih, karena tak akan lagi bisa bertemu dengan si Pekatik. Setitik bulir air matanya jatuh, entah mengapa dadanya terasa sesak dan menyempit, seakan pedih menyergap tubuhnya. Tribhuana tahu bahwa dirinya tak akan pernah menjadi burung mprit yang terbang bebas ke mana pun.

Tribhuana hanya bisa memanjatkan doa sembari duduk di balik jendela kamarnya dan menatap langit malam yang terang karena sinar bulan. Apa pun garis hidupnya yang ditentukan oleh Dewata, Tribhuana memohonkan doa, hidupnya harus membawa kebaikan dan keberkahan untuk Majapahit dan rakyatnya.

***

Surabaya 2021

Anggita mengacak rambutnya kemudian membenturkan dahinya pelan ke atas meja lalu mendengkus lirih. Matanya sudah mengantuk berat, tapi dia tidak bisa tidur begitu saja, karena harus menyelesaikan draft naskah untuk drama radio yang tengah digarapnya. Belum lagi harus menyiapkan bahan presentasi untuk menarik sponsor di program drama radio ini. Kalau boleh jujur, Anggita sendiri sebenarnya merasa ragu dengan drama radio yang tema yang tak kekinian itu. Namun, apa daya atasannya sendiri yang menggagas acara ini, dan bodohnya adalah Anggita menyanggupinya.

Anggita menggerakkan kepalanya berulang kali untuk mengusir rasa kantuknya, menepuk-tepuk pipinya tapi tetap saja masih tidak bisa menghilangkan rasa kantuknya. Anggita pun berdiri, memutuskan ke dapur. Mungkin dengan semangkuk mi kuah soto pedas dan segelas kopi akan membuatnya segar kembali.

Baru membuka pintu kamarnya, Anggita dikejutkan dengan Arya Bhanu yang tengah berdiri di taman kecil samping rumahnya. Posisi badannya berdiri tegap sembari menatap langit. Anggita hanya menipiskan bibirnya ke bawah dan tetap menuju dapur untuk membuat mi kuah dan kopi. Aroma mi kuah dan kopi seduh instan bahkan tak mampu mengalihkan perhatian laki-laki yang malam ini rambut sebahunya itu digerai. Dilihat dari belakang saja, bahu tegap Arya Bhanu sudah cocok jadi tempat bersandar. Anggita jadi berpikir, apakah Arya Bhanu di zaman Majapahit sana memiliki kekasih atau malah sudah memiliki seorang istri? Mungkin saja, hal itu yang membuat Arya Bhanu sering menatap langit karena merindukan seseorang.

"Mau coba mi kuah pedas?" tawar Anggita pada Arya Bhanu. Dia memang sengaja membuat dua mangkuk mi lengkap dengan telur dicampur saat dimasak dan potongan lima cabe rawit.

TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang