Anggita menyibak rambutnya kasar saat melihat Arya Bhanu tengah tertunduk lesu. Dia bernapas lega karena segera datang saat mendengar keributan. Satpam kantornya hampir saja menggeledah badan Arya Bhanu dan meminta identitas. Tentu saja ini mengkhawatirkan, jangankan identitas macam KTP, Anggita yakin Arya Bhanu tidak benar-benar tahu kapan tepatnya ia dilahirkan ke dunia ini.
"Lain kali jangan langsung main bak-buk-bak-buk ... lihat dulu, teliti dulu siapa orangnya. Untung masih disuruh buka masker, kalau sampai dimintain KTP bisa repot!" ucap Anggita dengan agak sewot.
Arya Bhanu mengangkat wajahnya dan menatap Anggita. "KTP?" tanyanya dengan heran.
"Iya KTP, kayak gini nih yang namanya KTP," terang Anggita sembari mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan KTP dan SIM-nya.
"Ada dua?"
"Yang warna biru dan agak buram ini namanya KTP, terus yang merah ini namanya SIM. Dua-duanya sama-sama sebagai penunjuk identitas macam tanda pengenal, kalau KTP fungsinya banyak, salah satunya buat ngutang online."
Arya Bhanu mengerutkan alisnya sedetik tapi kemudian ia mengangguk, masih menyimak penjelasan dari Anggita.
"Nah kalau SIM beda lagi, ini fungsinya sebagai tanda bahwa kita dapat lisensi untuk mengendarai mobil atau motor bahkan truk, ya paling gampangnya misal kamu yang pernah cerita jadi seorang perawat kuda, belum tentu boleh menunggang kuda 'kan, sebelum dapat izin dari istana atau yang berkuasa, paham enggak?"
Meski agak sedikit bingung dengan penjalasan Anggita, Arya Bhanu tetap mengangguk.
Anggita pun hanya menghela napas pelan, lalu melihat pada jam tangan di sebelah tangan kanannya. Mungkin bagi sebagian orang memakai jam tangan di sebelah kanan sangat aneh, tapi itulah Anggita yang justru lebih memilih memakainya di tangan kanan.
"Saya sungguh tidak sengaja, tiba-tiba saja, ditepuk dan tangannya seperti hendak memegang kepala saya, di zaman Majapahit, memegang kepala seseorang akan dianggap sebagai tanda tidak menghormati dan menghargai, tak jarang banyak yang berselisih paham hingga saling bunuh."
Anggita mendelik tajam. "Untung aku nggak hidup di zaman Majapahit, lha wong aku suka ngeplak kepala Usmanda yang isinya kayak kaleng Khong Guan isi rengginang. Tapi apa emang sampai begitu?"
"Iya," jawab Arya Bhanu sembari mengangguk.
"Tapi kebiasaan yang begitu jangan dibawa ke sini ya, bisa-bisa makin ruwet kalau kamu dikit-dikit emosi dan main balas pukul langsung. Ingat! Zaman ini berbeda dengan zaman Majapahit, enggak bisa disamaratakan gitu aja," ucap Anggita tegas.
***
Anggita mengajak Arya Bhanu untuk jalan-jalan mengelilingi kota Surabaya dengan menggunakan motor matic-nya yang beberapa hari ini terparkir di kantor radio. Anggita memang sering seperti ini bila malas membawa motornya pulang, bila sudah seperti itu, Anggita akan lebih memilih pulang dengan ojol entah mobil ataupun motor.
"Ini---" Arya Bhanu terkagum melihat sebuah motor matic dengan paduan warna merah dan putih. Badan motornya cukup lebar dan jok motor berlapis kulit sintetis tebal itu sangat empuk. Arya Bhanu bahkan sampai mengusap lembut bagai punggung kuda.
"Bentuknya mirip kuda," cetus Arya Bhanu.
"Bukanlah! Perhatikan baik-baik moncong depannya dan lihat dari samping, sepeda motor lebih mirip bebek," sanggah Anggita.
Arya Bhanu pun melihat dari samping dan berdecak kagun. "Memang zaman yang berbeda, segalanya di sini terasa begitu maju dan cepat."
Anggita segera menarik tangan Arya Bhanu ke arahnya. Mereka berdiri berhadapan dan tanpa sungkan, Anggita memakaikan helm ke kepala Arya Bhanu.
"Harus pakai ini?" tanya Arya Bhanu sembari memegang kepalanya yang sudah dipakaikan helm oleh Anggita.
"Harus! Selain biar aman dan kepalamu nggak ambyar pas kena aspal juga bakal kena tilang polisi kalau sampai nggak pakai helm, sedekah paling nggak ikhlas itu ya pas ketilang meski kita salah tapi rasanya berat aja," keluh Anggita sia-sia, karena tentu saja Arya Bhanu tidak mengerti apa maksudnya.
Segera saja Anggita naik ke atas motornya dan menyuruh Arya Bhanu untuk melakukan hal yang sama. Laki-laki itu agak ragu, bukan hanya karena baru pertama naik motor, tapi dibonceng oleh seorang wanita seperti ini, seakan mengusiknya. Namun, apa daya, karena bagaimanapun ia tidak bisa mengendarai bebek cepat ini.
Anggita yang segera melajukan motornya itu, membuat Arya Bhanu tersentak dan spontan ia memegang pundak Anggita. "Maaf," ucap Arya Bhanu lalu menurunkan tangannya dan menaruhnya ke atas pahanya sendiri. Ia mengepalkan tangannya erat-erat, rasanya jauh lebih aman menunggang kuda daripada menunganggi bebek cepat. Ia sedikit ngeri dengan jalanan padat kota Surabaya, di mana banyak mobil dan motor yang berlalu lalang, tak jarang pula saling menyalip bagai balap kuda liar yang sering dilakukan para prajurit di zamannya.
Anggita benar-benar mengajak Arya Bhanu memutari jalan-jalan besar di Surabaya. Gadis itu bahkan jalan memutar hingga tembus ke Jalan Darmo dan menyusuri jalanan dua arah yang lebar itu. Kemudian lurus ke depan hingga ke Jalan Basuki Rahmat yang kanan dan kirinya terdapat banyak bangunan tinggi seperti Tunjungan Plaza dan BRI Tower yang puncaknya, pernah Arya Bhanu lihat saat di rooftop rumah Anggita. Melewati area Tugu Pahlawan yang menjulang nan megah itu, membuat Arya Bhanu semakin berdecak kagum. Anggita memperhatikan laki-laki itu dari kaca spion lalu tersenyum geli. Respons Arya Bhanu tampak seperti anak kecil yang baru pertama kali ikut jalan-jalan.
Gedung-gedung tinggi di mata Arya Bhanu bagai Buto raksasa. Air mancur yang berada di tengah jalan tampak indah seakan sedang menari. Bising klakson kendaraan, pakaian yang bermacam-macam dan warnanya, bahkan Arya Bhanu sering melihat beberapa perempuan yang rambut panjangnya tergerai dengan warna merah atau ungu bahkan kuning cerah. Pemandangan ini sangat kontras dengan apa yang sering ia lihat di Majapahit.
Hingga beberapa menit perjalanan mereka yang sudah menjelang sore, sampailah mereka di tepi pantai Kenjeran. Salah satu destinasi ikonik di kota Surabaya. Dulu, pantai ini merupakan tempat wisata favorit, tapi karena semakin buruk pengelolaannya dan terkesan kumuh, akhirnya ditinggalkan warga dan jarang ke tempat ini. Namun, sejak adanya jembatan Suramadu dan pembangunan kawasan di sekitarnya, pantai Kenjeran pun mengalami banyak perubahan dan semakin lebih, terawat serta lebih bersih unuk berwisata.
Dari tempat mereka berdiri di tepi pantai yang terdapat batuan-batuan bersar dan hamparan pasir pantai, terdapat beberapa pedagang yang masih buka dengan aneka makanan, seperti lontong balap kupang dan sate kerang, serta tak ketinggalan minuman es degan hijau. Netra Arya Bhanu sekali lagi seolah tersihir. Di tengah pantai, ia melihat sebuah jalan penghubung, membentang dari ujung ke ujung, otaknya masih berpikir, bagaimana manusia di zaman ini membangun sebuah jembatan di tengah-tengah lautan, jika di daratan atau tanah, tentu yang ia ketahui adalah membuat jembatan dari kayu bambu.
"Ini pantai Kenjeran, ya meski masih ada buteknya, tapi ini udah lumayan bisa memanjakan mata. Yang di sana itu Tanjung Perak tempat pelabuhan kapal-kapal, terus itu yang panjang jembatan Suramadu menghubungkan Surabaya dan Madura. Kalau yang dari aku baca waktu riset naskah, Surabaya di zaman Majapahit itu disebut Ujung Galuh, dan Madura pasti kenal dengan Aria Wiraraja yang membantu Prabu Dyah Wijaya mengusir tentara mongol dan Gelang-Gelang."
Arya Bhanu masih terdiam dan memikirkan penjelasan Anggita. Ujung Galuh dan pulau Madura tentu saja Arya Bhanu sangat tahu. Hanya saja, ia tak menyangka bahwa Ujung Galuh akan menjadi seramai dan semenakjubkan ini bila dibandingkan dengan masanya. Sejak dulu, Ujung Galuh memang wilayah pelabuhan yang maju. Kapal-kapal besar bersandar di Ujung Galuh, sedangkan dermaga Canggu untuk kapal yang lebih kecil. Di zamannya, untuk menempuh perjalanan dari kotaraja ke Ujung Galuh bisa memakan waktu sehari semalam, tapi dari penjelasan Anggita, di zaman ini bisa hanya ditempuh tidak sampai satu jam bila tidak macet. Itu artinya kotaraja dan Surabaya cukup dekat. Dan, hal itulah yang semakin mengusik Arya Bhanu.
Jika Ujung Galuh seperti ini sekarang, lalu bagaimanakah dengan Trowulan?
"Bagaimana Kedaton Majapahit sekarang?" tanya Arya Bhanu pada Anggita. Sontak, Anggita menggigit bibirnya sendiri. Tidak tahu harus mengatakan apa mengenai Trowulan. Lalu sebuah ide muncul di kepala Anggita.
Mungkin ... mengajak Arya Bhanu ke Trowulan bisa jadi akan membantu Arya Bhanu mengetahui bagaimana caranya kembali ke Majapahit.
***
Halo ... Bab ini ada sedikit revisi. Selamat membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETED
Historical Fiction--Pemenang Wattys 2022 (Fiksi Sejarah)-- Blurb: Anggita yang bekerja di stasiun radio S di Surabaya, diminta atasannya untuk merancang program drama sandiwara radio, bahkan harus menyiapkan naskah cerita drama tersebut yang harus bertema kolosal. Ke...