Arya Bhanu terus menunduk dengan hormat. Kedatangan Tuannya sungguh sangat tidak terduga, apalagi pekerjaan sebagai bekel di istana yang tentu tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Namun, Arya Bhanu tidak menolak ketika Tuannya itu malah meminta izin pada Ki Lawana untuk mengajaknya ke tempat biasanya mereka berburu. Dan, sebagai abdi Gajah Mada yang pernah mengucap janji untuk setia pada laki-laki itu, Arya Bhanu tidak bisa menolaknya.
Mereka berdua berjalan menyusuri hutan Pawitra, dan sedikit menanjak naik ke arah salah satu anak gunung. Sengatan panas matahari yang membakar kulit, seakan tidak dipedulikan keduanya. Apalagi pandangan Gajah Mada senantiasa siaga pada sekelilingnya. Di tubuh sang bekel muda Gajah Mada itu hanya terdapat sebilah keris dan pisau lipat kecil yang terselip di timang. Hanya Arya Bhanu yang membawa senjata panah sembari berjalan di belakang Gajah Mada.
Telinga Gajah Mada sedikit bergerak kala pendengarannya yang tajam itu mendengar derap langkah yang sudah pasti adalah binatang di hutan Pawitra. Tanpa menggerakkan kepalanya dan hanya memusatkan pada indera pendengarannya, Gajah Mada menutup kelopak matanya lalu bibirnya mengeluarkan perintah tak langsung pada Arya Bhanu.
"Kemampuan berburumu sudah sejauh mana, Bhanu?" Gajah Mada hanya bertanya namun Arya Bhanu memahami maksud Tuannya itu.
Maka yang dilakukan Arya Bhanu adalah menyisirkan pandangannya dan mengambil anak panahnya dengan perlahan tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Ia mengambil dua langkah sangat pelan ke belakang, sembari berhitung dalam hati kapan saat yang tepat untuk mulai melesatkan anak panahnya. Tepat saat hitungan kelima, Arya Bhanu bergerak serong ke kiri dengan mata yang menyipit sebelah saat mulai melihat babi hutan berjalan dan hendak bersembunyi di ilalang. Tanpa ragu, Arya Bhanu segera menarik busurnya dan melepaskan anak panah, hingga tak sampai sepuluh detik, terdengar suara ringik kesakitan dari babi hutan yang terkena anak panahnya.
Gajah Mada tersenyum tipis atas hasil dari abdinya itu. Ia puas dengan hasil belajar Arya Bhanu yang memang semakin pesat. Desas-desus kemampuan Arya Bhanu setelah dirinya berangkat ke kotaraja dan mengabdi pada Majapahit, ternyata bukanlah isapan jempol belaka.
"Rupanya kamu perlu tantangan yang jauh lebih besar Bhanu, karena nyatanya bila hanya terus berlatih dengan hewan atau benda mati, kemampuanmu itu akan tumpul," ujar Gajah Mada memberikan penilaian.
Gajah Mada berbalik. Tubuhnya yang besar dan tegap itu, berdiri dengan gagah di hadapan Arya Bhanu. "Bukankah kita pernah mengikat sumpah setia untuk mengikuti segala perintahku, Bhanu?"
Arya Bhanu sedikit tersentak atas serangan pertanyaan dari Tuannya itu. Janji setianya itu tentu saja tidak akan dilupakannya. Hanya saja bila saat ini ia harus kembali ke istana, ada keraguan yang merambati hati dan pikirannya.
"Apa kemampuan saya sudah layak, Tuan, sebagai bekel dipa?"
"Yang bisa mengukur kemampuanmu, adalah diri kamu sendiri, Bhanu, bukan orang lain. Kadang, kelemahan manusia itu bukan terletak pada tubuh mereka, melainkan pada pikiran dan hati. Manusia cenderung lemah pada hal-hal yang berbau emosional, dalam kasusmu adalah tingkat kepercayaan diri. Sudah kubilang bukan, bahwa kamu memang hanya abdi dan pekatik sebelumnya, tapi sekarang ini, kamu adalah bawahanku, abdi setiaku, dan orang-orang yang berada dalam lingkup kepemimpinanku bukanlah orang-orang yang lemah baik fisik dan jiwanya."
Arya Bhanu menarik napas panjang. Ucapan Gajah Mada bukan bermaksud menyindirinya, ia sangat tahu akan hal itu. Ia tahu akan banyak hal yang akan terjadi dengan kembalinya dirinya ke istana. Cepat atau lambat, semua hanya masalah waktu—seperti yang diutarakan oleh Ki Lawana. Meski ini lebih cepat dari perhitungannya, Arya Bhanu siap membuat keputusan.
"Saya akan selalu siap menjalankan perintah, Tuan Gajah Mada," ucapnya yakin.
"Datanglah ke istana dua bulan ke depan, dan persiapkan dirimu sebaik mungkin untuk mengikuti proses seleksi bekel nanti."
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETED
Historical Fiction--Pemenang Wattys 2022 (Fiksi Sejarah)-- Blurb: Anggita yang bekerja di stasiun radio S di Surabaya, diminta atasannya untuk merancang program drama sandiwara radio, bahkan harus menyiapkan naskah cerita drama tersebut yang harus bertema kolosal. Ke...