Selamat Membaca, dan mohon koreksi bila ada typo ya. Hatur Tengkyu 🥰
***
"Ini adalah kawasan Trowulan, lurus ke arah selatan, akan mengarah pada Desa Bejijong dan banyak peninggalan Majapahit di daerah sini," ujar Purwoko pada Arya Bhanu. Setelah magrib tadi, Purwoko tiba-tiba mengajak Arya Bhanu pergi tanpa diketahui Anggita. Kakek Anggita itu beralasan agar Arya Bhanu tahu dan mengenal daerah Mojokerto, tepatnya daerah sekitar Trowulan.
Arya Bhanu hanya menurut sama sekali tidak bertanya apa pun. Duduk di kursi penumpang sebelah Purwoko yang mengendarai mobil kijang tuanya itu, Arya Bhanu hanya memperhatikan jalanan. Trowulan. Tentu saja, tempat ini sudah sangat berbeda dari enam abad yang lalu. Jalan raya padat-yang banyak dilalui tidak hanya mobil ataupun motor, tapi juga bus dan truk. Karena jalanan raya ini merupakan penghubung antar kota dalam provinsi Jawa Timur. Di kanan dan kirinya berdiri beberapa pabrik atau gudang-gudang besar. Namun, ketika melintasi Trowulan akan mulai terlihat berbeda karena hampir di setiap rumah atau bangunannya seperti gapura perkampungan dibuat dari batu bata merah dan di tengah-tengahnya terdapat lambang Surya Majapahit.
Purwoko hanya sesekali melirik Arya Bhanu dengan berbagai pikiran yang mengganggunya sejak melihat laki-laki itu-yang dibawa cucunya beberapa waktu lalu. "Betah di sini?" tanya Purwoko dengan suara yang terdengar datar.
Arya Bhanu menjawab pertanyaan Purwoko dengan tenang tanpa melihat pria tua yang sedang mengemudi itu. "Saya tidak tahu maksud dari betah itu seperti apa."
"Hidup bukan di tempat kita berada dan berasal, bukanlah hal yang mudah," ucap Purwoko pada Ary Bhanu.
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa," timpal Arya Bhanu.
Purwoko terkekeh pelan mendengar tanggapan Arya Bhanu. Pemuda itu tampak tenang dan santun, namun ternyata juga memiliki sisi keras kepala. Purwoko menepikan mobil tuanya setelah melihat penjual wedang ronde yang berada di pinggir jalan. "Kita turun di sini anak muda, cucuku itu suka sekali minuman hangat yang dijual pedagang itu."
Keduanya turun dari mobil, dan Purwoko memesan empat wedang ronde untuk dibawa pulang. Di sebelah penjual ronde, terdapat toserba yang memang menjadi salah satu tujuan pria tua itu. "Kita masuk ke sana," ajak Purwoko sembari menunjuk toserba tersebut.
Laki-laki tua itu memilihkan beberapa baju, celana juga pakaian dalam untuk Arya Bhanu. Memilihkannya dengan teliti sembari menatap tubuh Arya Bhanu dan mencocokkan dengan pemuda tersebut. Purwoko memilih baju dengan cepat lalu membayarnya. Setelah kembali ke penjual wedang ronde, mereka memasuki mobil tua Purwoko. Selama beberapa menit itu, tidak ada percakapan apa pun antara Purwoko dan Arya Bhanu. Namun, saat Purwoko kembali melajukan mobilnya, pria itu kembali membuka percakapan.
"Anak muda, apa kamu tidak pernah penasaran ataupun bertanya tentang cucuku?" tanya Purwoko.
Arya Bhanu membalas menatap pria tua itu masih dengan ketenangan-yang membuat Purwoko sangat gemas dan heran, hingga bertanya pada dirinya sendiri, ditempa seperti apa pemuda ini hingga memiliki emosi yang terkendali. Justru malah sebaliknya, Purwoko sangat ingin berbicara banyak hal dengan pria muda di sebelahnya itu, terutama mengenai bagaimana kehidupan di sana dan segala intrik kekuasaan di dalamnya. Bukankah itu akan membuat pengetahuannya dan beberapa hal yang masih terus ia gali sebagai arkeolog dan juga pengajar-pastinya akan bermanfaat. Namun, batinnya terus berusaha menolak, karena tahu hal itu akan menyalahi aturan dan juga ilmu yang sudah ia pelajari bertahun-tahun sejak muda.
"Cucu anda bukan membuat saya penasaran, tapi ingin memilikinya," ucapnya dengan kurang ajar dan membuat Purwoko hampir menginjak rem secara mendadak.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETED
Historical Fiction--Pemenang Wattys 2022 (Fiksi Sejarah)-- Blurb: Anggita yang bekerja di stasiun radio S di Surabaya, diminta atasannya untuk merancang program drama sandiwara radio, bahkan harus menyiapkan naskah cerita drama tersebut yang harus bertema kolosal. Ke...