38. Kecurigaan Magani

999 200 6
                                    


Selamat membaca

***

Cakradara tidak berhenti berdecak kagum ketika memasuki kotaraja. Ia dan Kudamerta bahkan sempat mengunjungi dermaga Canggu. Acara perayaan dan perlombaan memang masih diadakan dua minggu lagi, tapi kesibukan di kotaraja sudah mulai terlihat. Tempat duduk bagi para punggawa kerajaan pun sudah mulai dibangun. Kedua pangeran itu kini sedang berada di pasar untuk mengisi perut mereka dan abdi yang mengikuti mereka, sebelum nantinya akan ke istana dan menghadap Prabu Jayanagera.

"Sepertinya perayaan kali ini jauh lebih besar, ya, Kudamerta," ucap Cakradara sembari menggigit kue nagasarinya.

Kudamerta hanya mengangguk dan meneguk minumannya. Netranya mengawasi pada pemandangan di sekitarnya, terutama di tempat kereta yang membawa perbekalan mereka berdua. Kudamerta menangkap gerak-gerik mencurigakan dari beberapa orang.

"Kamu kenapa, Kudamerta?" Cakradara melihat pandangan yang tidak biasa dari temannya itu. Cakradara pun mengikuti arah pandang Kudamerta, seketika Cakradara pun berdiri, namun Kudamerta menahan temannya yang sering bersikap responsif tersebut.

Kudamerta menggeleng. "Kita lihat dulu apa yang mereka lakukan, baru kita bertindak," ucap Kudamerta masih dengan tenang.

"Tapi mereka sudah jelas kumpulan pencuri, Kudamerta," balas Cakradara dengan berapi-api.

"Ini di kotaraja Majapahit, Cakradara, keributan yang akan kita timbulkan apalagi sekarang ini sedang persiapan perayaan, akan membuat pandangan bahwa kotaraja tidak aman bagi para peserta dari kerajaan sahabat yang datang," ujar Kudamerta.

Cakradara menghempaskan bokongnya pada bangku kayu lalu menandaskan minumannya. Gelas yang terbuat dari batok kelapa itu bahkan diletakkannya dengan kasar di atas meja. Cakradara hanya heran meski sudah bersahabat lama dengan Kudamerta. Temannya itu sangat tenang dalam bertindak dan berpikir.

"Pangeran, perbekalan kita bisa dijarah habis oleh para kumpulan begundal itu, Pangeran," ucap salah satu abdi Cakradara.

Kudamerta berdiri, lalu membayar makanan yang mereka makan. Sembari menyerahkan beberapa koin uang gobog, Kudamerta bertanya dengan sopan pada bibi penjual yang berusia sekitra empat puluhan. "Maaf, Nyai, orang-orang yang ada di depan itu siapa?"

Bibi penjual memahami maksud pertanyaan Cakradara, dahinya sedikt berkerut lalu bibir bibi tersebut terlihat sedikit bergetar di sudut kana. Matanya bahkan terlihat terus bergerak-gerak. "Anu Tuan Muda, mereka itu komplotan meresahkan. Orang-orang di pasar ini tidak ada yang berani untuk menegur ataupun melawan, itulah sebabnya, pasar ini akan terlihat sepi bila mereka datang."

"Apa tidak dilaporkan pada bagian demung atau bekel yang bertugas, Nyai?"

"Kami ini hanya rakyat kecil, Tuan Muda, sedang komplotan itu ada yang mengatakan di belakang mereka, ada seseorang yang berkuasa. Sejujurnya, sejak mendiang Prabu Dyah Wijaya dan Mahapatihnya tiada, kotaraja sering tidak aman, Tuan Muda," kata bibi penjual yang terlihat takut.

"Terima kasih, Nyai, atas informasinya."

Kudamerta memberi kode pada Cakradara untuk berdiri dan mengikutinya. Ketika temannya itu sudah berdiri di sampingnya, Kudamerta pun berbisik. "Kamu ingin mendapatkan perhatian Prabu Jayanegara juga kedaton, bukan?" tanya Kudamerta.

"Kenapa memangnya?" Cakradara malah menyipitkan matanya dan balik bertanya.

"Kita sepertinya sekarang terlalu lembek dan lama tidak memeras keringat kan Cakradara?" Kudamerta bertanya lagi namun pandangannya terarah pada komplotan yang semakin seenaknya saja itu. Kini Cakradara pun menyunggingkan bibirnya lebar ke atas, sembari melemaskan otot-ototnya.

TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang