"Sang Adhyaksa Bhaskara." Ucapan yang keluar dari bibir kakek Anggita, membuat Arya Bhanu tersentak. Kalimat itu bermakna sang pelindung matahari. Kakek Anggita terlihat menelisik dirinya, membuat Arya Bhanu sedikit gugup dan kurang nyaman.
"Mbah Kung," sapa Anggita lalu membungkuk sembari mengambil tangan kanan kakeknya dan menciumnya. Kemudian bergantian dengan Usmanda yang melakukan hal yang sama dengan Anggita. Hanya saja, Arya Bhanu yang tetap tegak berdiri dan diam. Selain gugup, ia menaati perintah Anggita untuk tidak berbicara pada siapa pun. Melihat Arya Bhanu yang hanya diam saja, Anggita dan Usmanda segera memelototkan matanya.
"Mas, Mas, salim!" ucap Usmanda sambil menunjukkan caranya. Arya Bhanu semakin bingung dengan ucapan Usmanda yang seperti memerintahnya dengan kata 'salim'. Arya Bhanu tidak mengerti. Ia pun menjadi semakin kikuk.
"Ini siapa, Nduk?" tanya Kakek Anggita sambil memperhatikan raut ketiga anak muda di depannya.
"Teman Anggita, Kung," jawab Anggita diakhiri dengan menyengir tipis.
"Oh ... nambah satu lagi teman lanang ya, Nduk, yang ini beneran lanang atau agak bengkok juga kayak si Usman," canda kakek Anggita yang direspons Usmanda dengan pura-pura cemberut. "Ayo masuk, kok, nggak ngabarin dulu kalau mau ke sini, Mbah Uti-mu kan bisa minta Mbok Na buat masak dulu, kebetulan ini kan minggu jadi Mbok Na libur."
"Uti mana, Mbah Kung? Anggita emang dadakan sih, mau ke Trowulan, udah buka belum Mbah Kung, apa masih tutup karena pandemi?" tanya Anggita sembari duduk. Arya Bhanu pun masih tetap diam dan mengikuti setiap gerak-gerik Anggita dan Usmanda, sehingga apa yang dilakukan oleh dua orang itu, Arya Bhanu pun mengikutinya. Kecuali perilaku Usmanda sekarang ini yang sudah asyik memegang stoples bening yang berisi kue mirip butiran beras.
"Uti masih di tetangga, ngantar rambutan sama pisang, kebun yang di belakang lagi panen, kemarin Pak No yang ngunduh rambutannya. Ada juga mangga manalagi sama nangka, tapi belum dipetik sama Pak No, kalau Trowulan masih tutup, kan baru menurun gelombang kedua Covid-nya, jadi sementara masih tutup dulu untuk umum, tapi untuk penelitian masih buka," jelas Kakek yang sesekali melirik ke arah Arya Bhanu.
"Oh, kita mau ke Trowulan Mbah Kung, ya ... mau ... jalan-jalan aja, sih, ya kan, Us?!" ucap Anggita tersendat, kemudian menepuk keras paha Usmanda. Bestie bengkoknya itu pun langsung kaget dan mengaduh sembari mengusap pahanya yang terasa panas, padahal ia sedang asyik menikmati rengginang bawang buatan nenek Anggita. Usmanda memang sudah dianggap keluarga, sehingga masuk ke rumah kakek pun, tanpa sungkan segera membuka stoples dan memakannya.
"Sakit Nek!" keluh Usmanda tapi tetap menjawab pertanyaan Anggita. "Iya Mbah Kung, kita mau jalan-jalan mengajak teman baru kita ini, untuk lihat-lihat museum Trowulan, soalnya dia baru datang dari luar negeri," ucap Usmanda asal.
"Oh, dari luar negeri," sahut Kakek Anggita dan mengangguk-angguk. "Sekolah di mana dulunya?" tanya Kakek pada Arya Bhanu yang langsung membuat Kesatria itu terkesiap dan hanya bisa nyengir.
"Sekolah di Tibet, Mbah Kung, ikut pertukaran pelajar di sana," sahut Usmanda spontan. Anggita memelototkan matanya akan jawaban Usmanda itu.
"Di Tibet? Pertukaran pelajar apa?" Kakek Anggita pun semakin kritis bertanya, membuat napas Anggita agak tertahan.
"Dia ini mau jadi penerus Dalai Lama, Mbah Kung, makanya jauh-jauh belajar ke Tibet." Sekali lagi Usmanda semakin asal menjawab. Anggita hanya menunduk dan menggaruk-garuk pelipisnya, dan berdoa dalam hati semoga kakeknya tidak lagi bertanya. Arya Bhanu yang tidak tahu-menahu apa pembicaraan ketiga orang di depannya itu hanya bisa memberikan senyuman tipis dan anggukan sopan.
Meski tidak puas dan terasa aneh dengan jawaban bestie bengkok cucunya itu, kakek hanya menghela napas. "Wes, kalian enggak usah ke Trowulan, kita makan bareng di sini aja sambil nunggu Mbah Uti datang dan biar dibikinin rujak petis," titah Kakek pada mereka bertiga. Usmanda dan Anggita saling lirik seakan saling memberi kode untuk bisa menolak perintah kakeknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETED
Historical Fiction--Pemenang Wattys 2022 (Fiksi Sejarah)-- Blurb: Anggita yang bekerja di stasiun radio S di Surabaya, diminta atasannya untuk merancang program drama sandiwara radio, bahkan harus menyiapkan naskah cerita drama tersebut yang harus bertema kolosal. Ke...