Jika pemuda yang lain dikirim ke Pawitra untuk belajar, maka tidak dengan Arya Bhanu yang datang sebagai Abdi di Kadewaguruan ini. Ia harus bangun sebelum matahari terbit dan membantu para Emban untuk menyiapkan makanan pagi. Setelah pagi menjelang, tugasnya berganti untuk membersihkan sekitaran asrama Pangawuyan dan Kaki, lalu berpindah ke Bale besar. Saat matahari mulai tinggi dan tepat di atas kepala, tugasnya membantu para Resi bila dibutuhkan saat pelajaran berlangsung.
Di Pawitra, tidak hanya ada satu Kadewaguruan, melainkan ada banyak yang tersebar. Beberapa adalah Kadewaguruan yang tanahnya merupakan sima, sehingga tidak ada upeti pajak serta dalam pengawasan dan perlindungan Raja, seperti tempat Arya Bhanu mengabdi sekarang.
Namun, ada juga Kadewaguruan yang sifatnya berdikari dan kelompok kecil. Kadewaguruan seperti ini lebih independen dan tidak terikat aturan istana. Biasanya mereka lebih fokus pada pertapaan dan keagamaan.
Sudah berbulan-bulan Arya Bhanu menjadi Abdi di sini. Pekerjaannya memang lebih berat dari pada saat menjadi Pekatik di istana. Usianya yang paling muda di antara Abdi yang lain, membuatnya sering mendapatkan perlakuan semena-mena dari Abdi tua.
"Heh, Arya Bhanu," panggil salah seorang Abdi yang usianya lebih tua darinya. Arya Bhanu mendekat lalu mengangguk sopan.
"Kamu sudah enggak ada pekerjaan bukan?" tanyanya.
"Saya sedang waktunya istirahat Kakang Yada."
"Ah, tapi pekerjaan kamu kan cuma hanya bantuin Resi Ki Lawana bantuin bawa-bawa kitab Tutur buat para Sisya dan cuma duduk-duduk saja di depan Bale, sekarang mending kamu ambilkan kami buah pisang yang ada di lereng dekat sendang, kami lapar sedangkan jam makan malam masih lama," ucap Laki-laki bertubuh kerempeng dan tinggi itu.
"Maaf Kakang, ini waktunya istirahat saya dan biasanya akan saya gunakan untuk belajar aksara dan tulis."
Tawa mencemooh terdengar dari laki-laki itu dan dua temannya yang lain. "Walah ... Bhanu, Bhanu, kita ini cuma Abdi, pesuruh, jongos! Ngapain harus belajar baca tulis segala! Orang kecil macam kita ya akan selamanya cuma jadi rakyat kecil. Baca tulis buat orang seperti kita ini malah akan membuat terlalu banyak bermimpi agar bisa beruntung seperti para Sisya yang bisa belajar di sini lalu menjadi punggawa raja di Istana."
Arya Bhanu hanya diam, sama sekali tidak menyahut apa pun. Ia malah berbalik dan sudah akan melangkahkan kakinya, tapi laki-laki itu malah memuncak amarahnya dan menarik paksa bahu Arya Bhanu ke belakang.
"Jangan sombong kamu bocah!" hardiknya lalu menghempaskan tubuh Arya Bhanu ke tanah.
"Kamu ini cuma jongos dan paling muda di sini, harusnya kamu itu nurut sama kita-kita bukan sok pintar!" ucapnya menggebu-gebu dan sudah siap mengepalkan tangannya, hendak melayangkan pukulannya pada Arya Bhanu yang membalasnya dengan sorot mata tenang, namun bibirnya menyeringai tipis, membuat laki-laki bernama Yada itu semakin naik pitam.
Belum sempat pukulan itu mengenai wajah Arya Bhanu, suara lantang dan berat itu mengalihkan perhatian mereka.
"Pria dewasa merundung pria remaja, hanya pecundang lah yang melakukannya."
Netra Yada membeliak hingga rasanya tubuhnya bergetar hebat pun sama dengan kedua temannya. Yada menggumam lirih, menyebut nama pemuda gagah dengan tubuh yang besar, tegap dan tinggi. Tanganya yang terlipat di dada, hingga mampu menyembulkan otot lengannya yang kekar.
"Gajah Mada ...."
Hanya menyebut namanya saja, membuat Yada ingin segera berlari.
"Kalian apa tidak punya malu, menitah orang lain, sedangkan kaki dan tangan kalian masih bisa berfungsi." Suaranya yang berat nan tegas, membuat Yasa dan teman-temannya hanya menunduk takut dan tak berani menatap Gajah Mada.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETED
Historical Fiction--Pemenang Wattys 2022 (Fiksi Sejarah)-- Blurb: Anggita yang bekerja di stasiun radio S di Surabaya, diminta atasannya untuk merancang program drama sandiwara radio, bahkan harus menyiapkan naskah cerita drama tersebut yang harus bertema kolosal. Ke...