40. Manusia Bodoh

935 193 20
                                    

Surabaya, tahun 2021

Anggita mengerutkan dahinya saat memasuki rumahnya sendiri. Seorang gadis dengan rambut panjang bergelombang hingga pinggang tengah berada di dapur. "Kamu siapa?" tanyanya seraya berjalan mendekat.

Gadis itu terperanjat dan segera berbalik, tangannya yang tengah memegang bungkus plastik mi instan terjatuh. "S-sorry," ucapnya tergagap. "S-saya," lanjutnya sembari menggigit bibir bawahnya sendiri.

"Markonah! Mana mi gorengnya sih!" suara cempreng Usmanda dari belakang memekak telinga Anggita.

Usmanda datang dengan wajah yang terlihat segar—tampak baru selesai mandi. Anggita memicing melihat sahabat lenjeh-nya itu terlihat lebih laki dari biasanya. Usmanda memang tidak pernah memakai pakaian perempuan, hanya cara berbicaranya dan tingkahnya saja yang lunak. Namun, entah mengapa Anggita merasakan sesuatu yang berbeda dari temannya itu, entah apa.

Usmanda sempat melotot lalu menyengir lebar. "Eh, bestie udah pulang kerja, kangen gue nggak bestie?"

"Gua, gue, gua, gue, baru dua mingguan di Jakarta aja, udah sok-sokan jadi anak Jaksel koen, Us!" ejek Anggita. Usmanda hanya terkekeh. "Sopo?" tanya Anggita sembari mengarahkan kepalanya ke arah gadis yang masih berdiri di depan kompor.

"Apa lo lihat-lihat, Onah! Itu airnya udah mendidih!" ucapnya arogan.

Anggita melipat tangannya ke dada, sahabatnya ini terlihat arogan sekali. Dia pun berjalan menghampiri Usmanda dan menggeretnya ke ruang tamu. Arya Bhanu sendiri sedang duduk di ruang tamu, tampak tidak terganggu dengan dua orang yang mungkin saja akan cekcok sebentar lagi.

"Tuh cewek siapa, Us? Kamu bawa kabur anak gadis orang, ya? Jangan-jangan pas dipaksa pulang ke Jakarta kemarin, dikawinin ya?" cecar Anggita.

Usmanda membeliakan matanya serta menelan ludah, lalu jari telunjuknya menoyor tepat dahi Anggita. "Sembarang aja bawa kabur anak gadis orang, mending aku nyulik Prince Gabriel si berondong manis yang nolak jadi idol itu, dari pada si kutu ular Markonah!" ucapnya sembari bergidik.

"Ya terus?"

"Dipaksa kawin." Usmanda mengatakannya dengan bibir yang tak terbuka, sehingga suaranya hanya terdengar seperti orang yang sedang berkumur.

"Ngomong opo ngopyok untu koen iku, Us!" (bicara atau ngocok gigi kamu tuh, Us!)

Usmanda mendengkus keras, embusan napasnya bahkan terasa sekali. Laki-laki lunak itu menipiskan bibirnya kemudian melirik malas pada Anggita dan berkata, "dipaksa kawin, puas!"

Beberapa detik Anggita sempat melongo kemudian tertawa terbahak-bahak sembari memegangi perutnya. "Beneran dipaksa?! Udah malam pertama dong, gimana? Tongkat toya kamu bisa berdiri nggak?" goda Anggita.

Melihat cara Anggita tertawa selebar itu, seakan menular pada Arya Bhanu yang ikut tersenyum. Dua minggu tanpa keberadaan Usmanda, rumah memang terasa sepi. Usmanda sendiri menghempaskan punggungnya pada sandaran sofa sembari mengangkat kedua kakinya, sebelum telunjuknya kembali menoyor dahi Anggita.

"Sembarangan ya Nek, kamu kalau ngomong, ya bisa berdiri lah!" sahut Usmanda sembari mengusap hidungnya.

"Serius?! Udah gebar-geber koen, Us?" tanya Anggita lagi yang tidak percaya, lalu tangan Anggita dikibiaskan. "Ah, nggak mungkin kamu bisa goyang geber," lanjutnya lagi.

Gadis yang berada di dapur tadi, melangkah ke ruang tamu sembari membawa dua piring yang aromanya saja sudah tercium mi selera rakyat Indonesia. Anggita menyunggingkan lebar bibirnya ke atas, dan hendak menggoda Usmanda dan gadis yang diakui sahabatnya sebagai istri, namun, saat netranya sempat melirik Arya Bhanu, dia menemukan laki-laki Majapahit itu ternganga, menatap terkejut pada istri Usmanda.

TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang