"Sebagai rakyat Majapahit tentu saja saya mengenalnya sebagai Rajaputri yang dihormati oleh seluruh rakyat di bumi Majapahit." Arya Bhanu mengucapkannya dengan tegas. Cara berbicaranya yang tertata rapi dan tampak hati-hati, membuat Anggita yakin bahwa Arya Bhanu bukanlah sembarang prajurit.
Anggita berpikir sejenak, apakah baik dan tepat atas pemikirannya ini. Memanfaatkan keberadaan Arya Bhanu untuk kepentingan pekerjaannya. Anggita menggigit bibir bawahnya, masih dilema untuk mengungkapkan pikiranya.
"Apa yang membuatmu terlempar ke masa kini?" tanya Anggita.
"Saya juga tidak mengerti, karena sebelumnya saya sedang di medang perang di daerah Sadeng."
Jawaban Arya Bhanu membuat Anggita cepat-cepat mengetikkan kembali kata kunci 'Sadeng' kemudian kembali membaca salah satu artikel yang mengulas tentang perang Sadeng yang terjadi di tahun 1331.
"Sekarang ini adalah tahun 2021 dan kejadian Sadeng adalah di tahun 1331, artinya terpaut 690 tahun hampir tujuh abad. Sadeng diperkirakan wilayah sekitaran Probolinggo dan kamu terdampar di Surabaya tepat di depan situs Arca Joko Dolog, bukankah ini sangat aneh," cetus Anggita.
Arya Bhanu hanya diam karena ia masih belum memahami maksud dari ucapan Anggita sedangkan Usmanda kembali mendekat dan berbisik pada Anggita yang tengah menopang dagunya dan menatap lekat pada Arya Bhanu.
"Nek, jangan bilang kalau kamu mau manfaatin dia buat jadi sumber," ujar Usmanda yang sedikit khawatir.
"Apa salahnya Us?" Anggita merasa sedikit tersinggung.
"Kita 'kan enggak ngerti sejarah aslinya gimana, mengambil sumber sejarah dari satu orang biasanya akan jauh lebih subyektif bisa berat sebelah sesuai dari pengalaman rasa yang didapatkan si sumber sejarah itu. Bikin drama kolosal itu enggak semudah halu-halu cowok bad boy ketemu cewek polos."
Arya Bhanu masih tetap bertahan dengan diamnya sembari menatap dua orang yang berbisik di depannya itu.
"Ya salahnya dimana gitu loh Us!" sentak Anggita.
"Bisa aja dia itu enemy malahan."
Anggita merenung. Ucapan Usmanda memang ada benarnya, lagi pula dirinya masih belum banyak riset mengenai tokoh sang Rajaputri, bisa saja dia menemukan banyak artikel tentang perempuan yang pernah menduduki takhta Majapahit itu.
"Mending tidur aja deh Us," ucap Anggita sembari berdiri dan berjalan ke arah kamarnya. Malam ini dia memutuskan untuk lembur dan riset mendalam, setelah hampir dua bulan lamanya, sama sekali tidak mendapatkan ide mengenai gambaran cerita program drama radio. Sebelum membuka pintu kamarnya, Anggita membalikkan badannya dan melihat ke arah Arya Bhanu yang masih terus menyorotnya dalam. Sungguh, Anggita masih belum mengerti dengan arti tatapan laki-laki tersebut. "Us, kalian tidur sekamar. Awas! Jangan main pedang-pedangan!"
Usmanda hanya tertawa. "Paling cuma saling senggol sih Nek."
Anggita hanya menggeleng. Usmanda dan segala celetukannya bila ditanggapi akan semakin membuatnya tidak waras.
***
Tangan kirinya berada di belakang kepala dan tangan kanannya di depan dada. Sejak tadi Arya Bhanu terus bertahan dengan posisi seperti ini. ia terus merenungkan kata-kata dari Anggita, hampir tujuh abad, dan tiba-tiba saja ia berada di tahun dan kehidupan yang serba asing dan berbeda.
Untuk apa? Ia pun tidak tahu. Arya Bhanu hanya bisa menelan kegundahan hatinya yang terasa pahit. Apakah ini sebuah karma atas segala dosa yang mungkin pernah ia lakukan, atau justru ini adalah kehendak Sang Maha Kuasa untuk dirinya mendapatkan hidup yang berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETED
Historical Fiction--Pemenang Wattys 2022 (Fiksi Sejarah)-- Blurb: Anggita yang bekerja di stasiun radio S di Surabaya, diminta atasannya untuk merancang program drama sandiwara radio, bahkan harus menyiapkan naskah cerita drama tersebut yang harus bertema kolosal. Ke...