"Us, dia ngomong apa sih, koen paham enggak?" tanya Anggita dengan berbisik pada Usmanda.
Usmanda menggeleng. "Aku yo nggak paham Nek."
"Bentar Mas, nama Masnya ini siapa? Asal dari mana?" tanya Usmanda.
Laki-laki itu menurunkan tangannya lalu perlahan mengangkat kepalanya, menatap Usmanda dan Anggita bergantian. Dahinya mengerut saat netranya mengamati sosok Anggita dan Usmanda.
Cara berpakaian yang berbeda ...
Bahasa dsn pengucapannya yang juga berbeda ...
Lalu, dua orang yang sangat ia kenal, tak pernah sedekat ini, tapi mengapa tampak bagai teman dekat.Lama laki-laki itu memperhatikan Anggita dan Usmanda hingga sebuah seruan sekali lagi dari Usmanda membuyarkan lamunannya.
"Kangmasnya ini asli pundi toh? Namine sinten?" tanya Usmands dengan suara yang dibuat-buat agak kemayu dan Krama Inggil.
"Wilwatikta ...." jawab laki-laki itu.
Anggita tidak asing tentu saja dengan nama itu. Sebagai cucu dari seorang arkeolog yang meneliti peninggalan-peninggalan sejarah khususnya di Jawa Timur, Anggita sedikit banyak mengetahui mengenai sekelumit kisahnya.
"Majapahit?" celetuk Anggita.
Laki-laki itu kembali memfokuskan pandanganya pada Anggita. Menatap pada sosok Anggita yang hanya berambut sedikit melewati bahu. Wajah Anggita mungkin sama, tapi tahi lalat kecil di bagian sudut atas rahang kirinya, membuatnya sedikit berbeda dengan sosok yang dikenalnya.
"Gusti Rajaputri mengingat Wilwatikta? Mengapa Gusti Rajaputri berada di sini, padahal kita sebelumnya sedang melakukan peperangan di Sadeng."
Anggita semakin mengerut saja dahinya dengan pernyataan dari laki-laki aneh itu. Maka ia kembali berbisik-bisik dengan Usmanda.
"Us, daripada dia pemain FTV, kayaknya dia orang gila Us," ujar Anggita.
"Mana ada orang gila dapurane model ngene Nek!"
"Masnya ini habis ada acara apa? Syuting? Atau casting? Atau habis ikut perayaan budaya?" Usmanda lebih sabar bertanya daripada Anggita yang hanya bisa menipiskan bibirnya dengan cara bicara bestie jadi-jadiannya itu.
"Bongol---" ucapnya pada Usmanda kemudian sedikit menyunggingkan bibirnya ke atas.
"Bongol?!" Usmanda mengulang ucapan laki-laki itu dengan jengkel, terlebih saat gelak tawa Anggita riuh terdengar.
"Wes ta lah Us! Tanya langsung aja! Kamu ini siapa? Asli mana? Biar bisa pulang sana!"
Laki-laki itu pun menatap ke sekeliling ruang tamu rumah Anggita. Kakinya yang terasa dingin karena berpijak pada lantai tekel warna putih, kemudian ia melihat sendiri bagaimana tempat duduk di ruangan ini begitu empuk dan nyaman, bagai singgasana Raja dan para Rakryaan Patih dan Mahapatih. Tidak ada pilar-pilar penyangga seperti layaknya kedaton ataupun rumah para bangsawan. Warna putih dominan pada dinding yang membuat laki-laki bernama Arya Bhanu itu penasaran dan sangat ingin menyentuhnya.
Gambar-gambar wajah orang-orang sangat tercetak jelas seakan orang tersebut menatapnya dan hendak keluar dari gambar. Sangat berbeda dengan lukisan para seniman Majapahit, yang tak sampai membuat lukisan wajah semirip ini.
Arya Bhanu benar-benar berdecak kagum melihat satu ruang tamu. Ia seolah tersadar, bahwa ini bukan di masa Majapahit.
"Tahun apa sekarang?" tanya Arya Bhanu.
"Tahun Covid, yang kalau ke mana-mana harus pakai surat vaksin," jawab Usmanda masih enteng.
"Tahun apa itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIBHUANA TUNGGADEWI (Kemelut Takhta dan Cinta) - COMPLETED
Historical Fiction--Pemenang Wattys 2022 (Fiksi Sejarah)-- Blurb: Anggita yang bekerja di stasiun radio S di Surabaya, diminta atasannya untuk merancang program drama sandiwara radio, bahkan harus menyiapkan naskah cerita drama tersebut yang harus bertema kolosal. Ke...