"Apakah kakak baik-baik saja?" - Estian meraih pundak Lucius dengan hati-hati.
"Ah ya... Mungkin." - namun Lucius tidak terlihat baik-baik saja. Tatapan matanya tidak fokus dan cara bicaranya menjadi aneh. Tidak setegas biasanya. Sebenarnya dia merasa lelah. Hal paling berbahaya jika tidak bisa merasakan lelah, sakit dan takut adalah ketika perasaan-perasaan itu meluap. Kelelahan yang bisa melumpuhkan seluruh tubuh, kesakitan yang membuatmu sekarat dan ketakutan yang membuatmu putus asa.
Itu adalah hal yang mengerikan. Karena itu, stigma tidak selalu memiliki sisi positif.
Kaki Lucius menjadi lemah, tangannya menopang tubuhnya ke dinding. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
"Perasaan takut apa ini? Aku merasa sangat takut untuk alasan yang tidak jelas. Ketakutan yang bahkan lebih mengerikan daripada saat menghadapi Calamitas. Ketakutan atas ketidakberdayaan melawan takdir."
"Kakak? Apa kau merasa tidak enak badan?" - Estian membantu Lucius menopang tubuhnya.
"Aku hanya merasa lelah. Sepertinya aku melupakan beberapa hal yang penting. Aku tidak tau apa itu, tapi itu membuatku takut."
"Seperti seseorang yang telah kehilangan petunjuk tentang jalan hidupnya. Seperti seseorang yang kehilangan lilin di dalam kegelapan yang pekat."
Ketakutan akan kehilangan arah.
Lucius meraih kepalanya, ia berusaha mengingatnya.
"Seharusnya aku bisa mengingatnya. Bukankah biasanya memang begitu? Seharusnya ingatan dari pemilik tubuh ini akan datang padaku, namun ingatan itu tidak muncul. Aku hanya tau kehidupan Lucius yang di deskripsikan melalui novel."
Lucius menggali ingatan 'Lucius' yang asli. Kemudian, sebuah suara terdengar. Suara seperti sesuatu yang retak.
Lalu potongan-potongan ingatan itu mengalir. Satu, dua hingga itu mengalir deras seperti air terjun. Membebani otak dan tubuhnya dan membuatnya terjatuh. Kepalanya berputar dan terasa nyeri saat potongan ingatan itu kembali dimainkan di dalam kepalanya.
Estian meneriakkan namanya namun itu terdengar samar tertutup oleh suara bising dari memorinya yang hilang. Ia tidak merasakan tangan Estian yang memegang wajahnya. Ia juga tidak merasakan tangan Eclair yang meraih pundaknya. Semua fokusnya hanya pada ingatan itu. Ingatan yang telah lama terpendam.
Tahun itu, beberapa bulan setelah perang berakhir. Lucius pergi ke sebuah hutan di wilayah Hutan Mystica. Dia pergi untuk mencari obat penawar racun sendirian. Namun di tengah perjalanannya, dia melihat sebuah kelompok bertopeng membakar pemukiman penduduk. Aneh jika memikirkan ada pemukiman di tengah-tengah wilayah Hutan Mystica.
Kelompok itu membunuh tidak peduli wanita maupun anak-anak, orang tua maupun balita. Lucius yang geram langsung membantai kelompok itu, namun sayangnya dia tidak berhati-hati. Energi iblis yang memberikan ilusi itu menyerang otaknya. Kelompok itu kabur dan Lucius tenggelam dalam ilusi yang menyakitkan. Dia melihat Estian yang mati di depannya karena tidak bisa melindunginya. Beruntung, dia di obati oleh raja elf yang memiliki berkat dari pohon dunia. Saat Lucius melindungi desa Dwarf yang merupakan pintu utama untuk masuk ke desa elf, dia juga melindungi pohon dunia. Suatu eksistensi penting bagi seluruh makhluk hidup.
Dia tidak sadarkan diri selama beberapa hari dan terbangun. Saat itu dia tidak melihat apapun dan berpikir itu semua mungkin adalah mimpi. Satu hal yang tidak banyak orang ketahui, raja elf dapat membuat siapapun melupakan hal-hal yang berhubungan dengan desa juga ras elf dan Dwarf. Karena itu, Lucius tidak mengingatnya.
"Hah...." - Lucius nyaris tidak sadarkan diri saat tumpukan informasi itu menyerang otaknya.
Seperti segel yang kembali terpasang, aliran memori itu terpotong saat itu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Become an Evil Grand Duke [ON GOING]
FantasíaDion Leonardo yang tiba-tiba saja merasuk ke dalam tubuh dari seorang karakter di dalam novel. Karakter yang hanya di jabarkan dalam beberapa baris kalimat, seorang Grand Duke jahat yang juga merupakan kakak dari tokoh utama di dalam novel, Lucius M...