67. SANG DEWA PERANG 1

2.2K 270 44
                                    

Langit malam yang berhiaskan bintang-bintang, membuat mereka tampak seperti perhiasan yang berkilauan. Bulan purnama yang terlihat lebih besar, bersinar menerangi gelapnya malam.

Pemandangan pulau-pulau yang melayang di langit menambah keindahan dan kesucian tempat ini.

Pada pulau yang terletak sebagai pusatnya, sebuah gazebo berwarna putih berhiaskan kelambu merah muda dan ungu muda tampak seolah bersinar dengan cahaya rembulan. Alunan melodi dari alat musik kithara mengalun dengan lembut dan merdu. Seolah memiliki efek menenangkan, binatang-binatang suci yang berada di sekitarnya terlihat tenang dan menikmati alunan musiknya.

Sosok yang memainkan kithara, dia memiliki rambut panjang yang seputih salju. Rambutnya berkibar lembut ketika angin bertiup. Dia mengenakan pakaian bermodelkan chiton berwarna putih yang menjuntai hingga menyapu lantai. Hiasan emas di pundak dan pinggangnya membuat pakaian sederhana ini terkesan mewah.

Dia, Dewa Harapan dengan tangannya yang lentik dan halus, memainkan kithara dengan gerakan tangan yang indah. Matanya terpejam, menampilkan bulu mata yang panjang dan lentik.

Aroma bunga lavender di sekitaran gazebo menambahkan perasaan yang damai dan menenangkan.

Ketika alunan melodi yang berpadu dengan ketenangan malam ditampilkan dengan cara yang surgawi, seseorang dengan jubah hitam mewah berhiaskan ular emas bermata merah berjalan perlahan, menyusuri jalan setapak diantara bunga lavender.

Pria berjubah itu menutupi wajahnya dengan penutup wajah setengah transparan yang berhiaskan perhiasan emas yang menjuntai ke bawah. Tudungnya juga terpasang hingga wajahnya sama sekali tidak tampak.

"Anda bisa menyaingi cahaya dari bulan beserta bintang-bintangnya di atas langit, Yang Mulia."

Alunan kithara masih berlanjut, Dewa Harapan belum menanggapi komentarnya.

Meski begitu, pria itu tidak tersinggung, justru sebaliknya. Di balik penutup wajahnya, senyuman terulas ketika tatapannya terus tertuju pada Dewa Harapan.

"Bahkan matahari tidak akan sanggup untuk bersanding dengan cahayamu, tuanku."

Dia kembali berjalan lebih dekat dan duduk di hadapan Dewa Harapan, dengan senyuman yang masih tersungging di bibirnya.

Melodi kithara masih mengalun dengan merdu. Hingga musik akhirnya selesai, pria itu tidak mengucapkan kalimat apapun, hanya duduk dengan tenang dan menatap Dewa Harapan.

Ketika musik selesai dimainkan, Dewa Harapan membuka matanya dan beralih menatap pria di hadapannya.

"Dewa Perang."

Pria itu tersenyum sekali lagi dan kembali berkata, "Musik yang indah, Yang Mulia."

Dewa Harapan hanya menatap Dewa Perang dengan tatapan yang dingin, seolah tidak ada emosi apapun di sorot mata maupun wajahnya.

Eksistensi seorang dewa, mereka sebenarnya tidak memiliki emosi apapun di dalam diri mereka selain rasa tanggung jawab dan kesetiaan mereka terhadap Dewa Harapan. Sedangkan Dewa Harapan sendiri... Dia hanya tau tentang tanggung jawabnya kepada seluruh makhluk hidup yang memujanya.

Namun Dewa Harapan merasa bahwa Dewa Perang berbeda. Tatapan matanya menampilkan perasaan yang tidak bisa dia mengerti.

"Anda tau Yang Mulia? Terkadang saya berandai-andai, bagaimana jika anda memiliki perasaan seperti apa yang saya rasakan? Saya yakin itu sangat menyenangkan."

Dewa Perang menarik tudungnya turun, dia juga membuka penutup wajahnya. Menampilkan wajah yang tampan dengan bola mata hitam pekatnya. Ketika tatapannya masih terfokus pada Dewa Harapan, mata kanannya berubah menjadi merah dan bercahaya.

Become an Evil Grand Duke [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang