Ch. 5 - POTRAIT

580 30 0
                                    

Malam itu Sabine pulang dan menangis terisak-isak dalam perjalanan. Ia pikir ia bisa menceritakan apa yang dialaminya kepada sang ayah; berharap ia akan melakukan sesuatu demi putrinya. Sabine yakin, manajer pembohong itu akan dituntut atas perkataannya yang sangat mempermalukan Sabine. Tapi, ia malah tidak menemukannya di rumah. Pengurus rumah tangga memberitahunya ia sudah pergi sejak sore dan belum kembali lagi. Sabine pun menunggunya pulang sampai ketiduran di ruang tamu.

Pagi menjelang, ayahnya belum kembali. Sabine masih menunggunya sambil menangis bahkan sampai bolos ke sekolah. Ia tidak sabar ingin memberitahunya tentang apa yang ia alami kemarin. Menatap jam tiap sebentar, berlari ke ruang depan setiap ia mendengar suara dari sana, tapi selalu kecewa dan kembali dengan air mata. Sampai sekitar jam dua siang, ketika Sabine ketiduran lagi di meja dapur dengan makanan yang sama sekali belum disentuhnya karena terus menangis, ia bisa bernafas lega.

Sabine mendengar suara ayahnya berbicara dari ruang depan; dia datang bersama Pak Rudy, orang kepercayaannya dan dua orang tamu –laki-laki dan perempuan yang sepertinya sepasang suami istri.

"Papa?!" panggil Sabine dengan histeris sambil memeluknya dengan putus asa.

"Jaga sikap kamu, Sabine," dia berkata dengan dingin sambil melepaskan diri dari Sabine.

Sabine yang sedih dan panik masih heran akan sikap dingin ayahnya yang semakin parah; Sang Papa sama sekali tidak bertanya tentang apa yang membuatnya menangis seperti yang biasa dia lakukan dulu.

"Ini anak Bapak ya?" tanya tamu wanita itu sambil tersenyum pada Sabine. "Cantik sekali."

Sang ayah sama sekali tidak menoleh putrinya yang berharap padanya.

"Mari, Pak, Bu, kita ke ruangan yang lain," kata Pak Rudy kemudian saat ayahnya berisyarat untuk mengabaikan Sabine dan kemudian pergi ke ruang tengah.

Sabine tertegun di tengah-tengah ruang tamu dan hanya mengamati orang-orang itu berpindah. Pak Rudy terdengar menjelaskan segala hal tentang ruangan di rumah itu dan Papa hanya mengiyakan tanpa banyak bicara sementara pasangan suami istri itu sepertinya menunjukan ketertarikannya. Mereka juga pergi ke lantai dua, memeriksa setiap kamar di sana. Mereka saling berbisik, kadang tersenyum sambil mengangguk, melontarkan pujian terutama pada kebun mawar merah yang mengelilingi rumah dan masih terawat sampai saat ini.

"Dulu almarhum ibu sangat menyukai mawar merah," kata Pak Rudy pada pasangan itu. "Rumah ini sampai dijuluki House of Roses."

"Ehm, kita bisa pergi ke halaman belakang sekarang?" sang ayah menyela; dia tampaknya tidak ingin mendengar penjelasan Pak Rudy lagi; setiap orang membicarakan almarhum istrinya dia tidak ingin mendengarnya.

Tapi, tidak butuh waktu lama bagi Sabine untuk menyadari apa yang tengah direncanakan ayahnya.

"Papa mau menjual rumah kita?!" serunya saat rombongan itu telah kembali ke ruang depan.

Sang ayah tidak menjawab.

"Sabine, kamu tenang dulu," ujar Pak Rudy menghampiri Sabine dan tersenyum seolah mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

"Masuk ke kamar sekarang!" perintah ayahnya, kali ini kelihatan marah.

"Kenapa?!" Sabine memekik lagi.

Belum lepas kesedihan tentang kemarin sekarang ia harus merelakan rumah tempat ia lahir dan tumbuh besar bersama adik-adiknya.

Pasangan suami istri itu tampak bingung; mungkin juga sedikit simpati pada keluarga ini –tentunya mereka tahu apa yang pernah terjadi di sini. Kecelakaan sang ibu, Denise dan Robyn sempat menjadi berita di mana-mana sebagai kecelakaan naas di mana nyawa seorang ibu dan dua anaknya melayang begitu saja di jalan raya.

"Kenapa Papa mau menjual rumah kita?!" protes Sabine lagi saat sang ayah lagi-lagi mengabaikannya dengan mengajak tamunya pergi.

"Sabine, ayo sini," ujar Pak Rudy menarik Sabine ke ruangan lain. Sepertinya dialah yang akan menjelaskan alasan mengapa ayahnya memutuskan melepaskan rumah mereka; harta berharga dengan banyak kenangan indah di dalamnya.

Rupanya perusahaan ayahnya perlahan mulai menunjukan gejala bangkrut. Papa-nya telah mengajukan pailit pada Bank dan sebagai salah satu cara untuk melepaskannya dari kerugian yang lebih besar lagi adalah dengan menjual rumah itu. Pak Rudy memohon pengertian Sabine –sesuatu yang harusnya dilakukan oleh ayahnya agar ia berhenti menangis. Tapi, tampaknya dia sudah tidak ingin bicara dengan putrinya sendiri.

Bahkan setelah tamunya pergi; sang ayah masih enggan bicara padanya.

Besok harinya, ia masih saja duduk di sofa itu, memandangi foto keluarga seolah itu membuatnya merasa lebih baik. Hingga keesokan paginya lagi, foto itu menghilang dari tempatnya. Seorang pengurus rumah tangga dan tukang kebun mulai sibuk mengemasi barang-barang mereka saat Sabine baru saja keluar dari kamar dengan mata bengkak karena menangis semalaman. Mereka mengatakan ini hari terakhir mereka bekerja karena Papa-nya sudah tidak sanggup menggaji banyak pekerja. Lebih-lebih kabarnya rumah ini sudah terjual.

Seharusnya Sabine juga mulai mengepak barang-barang karena ayahnya sudah menemukan rumah yang baru untuk mereka tinggali –sebuah tempat yang lebih kecil dan tidak membutuhkan biaya besar untuk mengurusnya. Satu persatu orang pergi; mereka berpamitan dan berpesan pada Sabine agar menjaga dirinya dengan baik.

***

Reminder:

Kalian bisa baca semua novelku di blog untuk pengalaman membaca tanpa iklan video wattpad yang terlalu lama saat peralihan chapter. (LINK BLOG ADA DI PROFIL -tinggal klik aja)

Update chapter di blog lebih cepat karena aku mempunyai lebih banyak pembaca di sana.

Jangan lupa VOTE dan COMMENT nya untuk bantu cerita ini naik ya. Dukungan kalian sangat berarti, sekecil apa pun itu. Thanks

MY EVIL BOSS : HE TAKES IT ALL (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang