Ch. 7 - BEST FRIEND

437 20 0
                                    

Maret 2014....

"Sudah berapa kali Papa bilang, Sabine! Jangan menyelinap ke rumah itu lagi!" teriak ayahnya setelah satu tamparan mendarat di pipi Sabine.

Sang ayah baru saja membawanya pulang dari kantor polisi karena ketahuan menerobos masuk tanpa izin dan pemilik rumah yang baru. Mereka melaporkan Sabine karena itu bukan pertama kalinya terjadi.

"Apa lagi yang kamu lakukan di sana?!"

Sang ayah tidak akan mengerti. Sabine melakukannya hanya untuk menghukum ayahnya karena menelantarkannya di rumah kecil ini sendirian. Ia tidak peduli saat Sabine dicemooh orang-orang setelah fitnah kejam manajer Eloise itu dan malah menyuruhnya berhenti menari. Seharusnya Sabine belajar untuk ujian, lalu mempersiapkan diri untuk ujian masuk universitas negeri –ayahnya tidak bisa menyekolahkan Sabine di universitas swasta yang biayanya lebih mahal.

"Kamu dengar?!" teriaknya lagi. "Papa sudah bosan mengurusi kelakukan kamu yang makin hari makin mengada-ada, Sabine! Harusnya kamu lebih tahu diri mulai sekarang!"

"Aku tidak meminta Papa mengurus aku! Selama ini bukannya Papa bisa cuek dan pergi kerja berhari-hari?! Kenapa Papa tidak bisa begitu lagi?!" celetuknya.

"Sampai kapan kamu mau seperti itu?! Kamu pikir Mama kamu senang lihat kamu begini!"

"Tolong, Pa! Tidak usah bawa-bawa Mama!" balasnya. "Giliran aku yang salah Papa selalu bawa-bawa Mama! Bagaimana dengan Papa sendiri?! Apa menurut Papa Mama senang dengan apa yang Papa lakukan sekarang padaku?!"

"Jangan kurang ajar kamu!" teriaknya lagi, siap untuk menampar Sabine lagi dan kali ini gadis itu sama sekali tidak gentar.

"Ayo pukul! Bunuh aku sekalian! Papa kira aku mau hidup seperti ini tanpa Mama, Denise dan Robyn?! Papa kira aku senang tinggal dengan Papa yang tidak pernah peduli padaku lagi?! Asal Papa tahu, aku punya lebih banyak alasan untuk tidak mau hidup lebih lama! Jadi aku tidak peduli Papa mau memukulku sampai mati sekali pun!" Sabine masih berteriak sampai sang ayah malah menurunkan tangannya; menatap putrinya dengan bingung. "Aku juga tidak bisa melakukan apa yang aku suka! Papa bahkan tidak membelaku saat aku difitnah!"

Sabine pun meninggalkan rumah dalam keadaan marah. Mencoba menghilangkan amarah dalam dirinya dengan berjalan tanpa tujuan seorang diri. Tapi, ia selalu berhenti di satu tempat –jembatan penyebrangan yan membelah dua ruas jalan utama yang ramai yang sering ia lewati untuk pergi dan pulang sekolah. Sabine selalu kembali ke jembatan penyebrangan itu untuk merenungkan semua kesulitan hidup dan hal-hal yang tidak berjalan sesuai rencana yang membuatnya lelah bertahan. Entah mengapa ia mulai berharap setiap kali lewat, ia akan punya keberanian untuk melompat.

Di sana ia lagi-lagi tertegun sangat lama menghadap angin yang bertiup lebih kencang di ketinggian; lalu tiba-tiba bertanya pada dirinya sendiri...

Apa yang akan terjadi jika aku melompat dari sini?

Sosok sang ayah yang marah tertinggal di ruang mata. Bukan karena takut, tapi Sabine mulai bosan dengan keributan. Ia hanya ingin kehidupan yang normal walaupun jauh lebih sederhana dari sebelum keluarganya bangkrut. Tapi, sang ayah terlalu sibuk di luar dan pulang hanya untuk memarahinya. Hari-hari suram yang terus berulang seolah buku catatannya harus selalu hitam dan merah. Dia juga sudah tidak punya teman lagi.

Sejak ia harus pindah dari sekolah internasional ke sekolah swasta biasa, tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan bergaul dengan anak-anak lain saat ia terlihat begitu berbeda dari mereka. Sementara teman-temannya yang lama telah menjauh dan bahkan ada yang sengaja merundungnya karena terpengaruh oleh anak lain yang membenci Sabine sejak lama.

"Kamu punya masalah apa sampai ingin mati?" tegur seseorang yang langsung mengalihkan perhatian Sabine dari jalanan di bawah kakinya ke sosok yang sedang berdiri tidak jauh darinya.

Sabine mendapati seorang gadis; berambut panjang dan dicat pirang, tapi ia lebih fokus pada penampilannya. Gadis itu mengenakan rok mini yang memperlihatkan sebagian besar kaki jenjangnya dan jaket denim yang membuatnya kelihatan cantik sekaligus keren dalam pandangan Sabine yang samar oleh air mata yang membanjir. Ia langsung menyekanya karena malu saat gadis itu mendekat dan menghampiri.

"Kamu baru saja diperkosa?" tanya dia cemas dan Sabine langsung syok, namun ia langsung menggeleng dengan dahi berkerut.

Kenapa dari sekian banyak pertanyaan yang bisa dia tanyakan pada seseorang yang sedang sedih, hal semacam itu terlintas di pikirannya? Namun sebenarnya Sabine hanya tidak sadar, keadaannya benar-benar sangat buruk –seperti itu benar-benar telah terjadi kepadanya.

Gadis itu menghela nafas lega begitu dia sampai di hadapan Sabine. Sekarang terlihat jelas bahwa dia memasang make up yang cukup tebal di wajahnya.

"Syukurlah," kata dia.

"Kenapa kamu mengira kalau aku diperkosa?" cetus Sabine; agak kesal karena dia terkesan agak seenaknya.

"Memang apa lagi yang lebih buruk yang bisa menimpa seorang gadis?" balas dia acuh dan tenang. "Tapi, serius, kamu tidak sedang ingin mau bunuh diri 'kan?"

Sabine diam; kembali menolah ke jalanan di hadapannya.

"Kamu sudah makan? Aku lapar. Mau ikut?" dia menawarkannya begitu saja.

"Hah?" Sabine menoleh lagi dengan heran padanya; ia tidak mengenalnya tapi gadis asing itu bersikap seolah mereka sangat akrab.

"Aku Jessica," dia mengulurkan tangannya. "Ini bukan pertama kalinya aku melihat kamu berdiri di situ sambil menangis. Sepertinya beban hidup kamu berat sekali."

Sabine masih diam. Lalu ragu-ragu menerima tangannya. "Aku... Sabine," jawabnya.

"Nama kamu bagus," komentar gadis bernama Jessica itu; memperhatikan wajah Sabine lebih dekat dengan sedikit mendongak ke arahnya. "Warna mata kamu coklat terang, kamu pakai lensa kontak?"

Sabine menggeleng. "Tidak," jawabnya. "Ini asli."

Jessica mengangguk-angguk percaya. "Coba aku tebak, kamu setengah bule?" tanya dia lagi.

"Seperempat," jawab Sabine.

Sang ibu keturunan Prancis dan Manado. Sedangkan ayahnya berdarah Jawa tulen.

"Ayo kita pergi. Terlalu lama di sini nanti masuk angin," kata dia sambil berlalu dari hadapan Sabine.

Siapa suruh dia pakai baju seksi begitu? Rutuk Sabine dalam hati tapi, anehnya ia bersedia mengikuti langkah Jessica dan meninggalkan jembatan penyebrangan itu.

***

Reminder:

Kalian bisa baca semua novelku di blog untuk pengalaman membaca tanpa iklan video wattpad yang terlalu lama saat peralihan chapter. (LINK BLOG ADA DI PROFIL -tinggal klik aja)

Update chapter di blog lebih cepat karena aku mempunyai lebih banyak pembaca di sana.

Jangan lupa VOTE dan COMMENT nya untuk bantu cerita ini naik ya. Dukungan kalian sangat berarti, sekecil apa pun itu. Thanks

MY EVIL BOSS : HE TAKES IT ALL (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang