April 2016....
Sabine menarik nafas panjang sebelum membuka lemari penyimpanan barang-barang pribadinya yang ada di balik cermin kamar mandi. Kado terakhir dari Jessica yang pada akhirnya berguna juga. Meski terasa aneh, ia menenggak salah satu pil kecil yang ia ambil dari sana; ia harus selalu ingat untuk mengambil pil-pil itu dan meminumnya, setiap hari entah sampai kapan. Karena ia tak ingin lagi menghadapi situasi yang cukup menegangkan beberapa saat lalu karena mengalami gejala yang cukup menakutkan –terlambat datang bulan.
Ekspresi Harish yang berubah drastis saat ia memberitahunya cukup membuatnya sedih . Dia menyuruh Sabine melakukan test segera walaupun Sabine mengatakan padanya bahwa ia sudah meminum pilnya dengan teratur. Tapi, Harish tidak mempercayainya.
Sabine masuk ke kamar mandi selama beberapa menit. Harish menunggunya dengan gelisah di depan pintu. Setelah Sabine memastikan garis kedua tidak muncul setelah lebih dari menit ketiga, ia segera keluar untuk menunjukannya. Melihat reaksinya saat itu, perasaan lega karena hasilnya negatif justru malah lenyap, berganti menjadi kesedihan yang berbeda, bercampur kekecewaan yang aneh. Harish yang menghembuskan nafas lega seperti seseorang yang baru saja diampuni dari hukuman mati; menunjukan betapa dia tidak ingin bertanggungjawab.
Harish mulai sering meninggalkan kantor untuk perjalanan bisnis dan beberapa waktu yang kadang bisa cukup lama, Sabine mulai jarang melihatnya datang ke kantor. Lalu suatu pagi, seperti pada pagi-pagi sialan di mana ia ditinggalkan dengan sengaja oleh pegawai lain di depan elevator lagi dan rombongan itu menertawainya dari dalam, ia melihat Harish akhirnya kembali.
Memang tidak ada yang berubah dari hubungan mereka sebelumnya; seolah malam-malam penuh dosa itu benar-benar hanyalah mimpi bagi keduanya. Kenyataan di depan mata, sesuatu yang menyakitkan selalu muncul dengan cara yang mudah hanya untuk membuatnya tersiksa. Harish tetap bosnya sekalipun lelaki itu bersikap layaknya seorang kekasih dan miliknya seorang.
Tapi, pagi ini, setelah beberapa jam lalu mereka berpisah di hotel di mana Harish telah menghilang darinya di pagi buta, seseorang di sampingnya, mengiringi setiap langkahnya yang berjalan dengan tegap seperti model Kimmy Jayanti. Perempuan itu, Laura.
Mata mereka bertemu begitu sudah dekat dan Sabine terpaksa menyapanya dengan berat hati hanya untuk membuat kedok lagi.
"Se... selamat pagi... Pak."
Harish lagi-lagi menghiraukannya. Sementara Laura hanya memberinya tatapan datar lalu mengangguk. Begitu pintu elevator terbuka, Harish langsung masuk diikuti Laura. Keduanya berdiri di dalam sana seperti sebuah potret pasangan yang paling serasi.
"Kamu tidak ikut?" tanya Laura pada Sabine yang malah tertegun.
"Ti... tidak... silakan duluan saja," katanya dan kebetulan pintu elevator di sebelahnya juga terbuka. Sabine memilih untuk naik dengan yang satunya lagi.
Debaran di dadanya terasa begitu sakit. Ia tahu bahwa tak ada hak baginya untuk merasa cemburu. Harish sudah mengatakannya dengan tegas, selain nafsu tak ada perasaan apa-apa lagi di antara mereka.
Begitu sampai di ruangan, kedua orang itu langsung masuk ke kantor Harish. Sabine segera menuju ke mejanya dan menemukan setumpuk berkas di mejanya yang harus dikembalikan ke rak-rak yang ada di ruang arsip yang pengap itu. Sedangkan Della, tersenyum penuh cemooh kepadanya tapi Sabine hanya menatapnya datar lalu memutar matanya dengan kesal.
Sepanjang waktu ia menyaksikan banyak orang yang keluar masuk kantor Harish, tapi Laura tidak pernah keluar dari sana. Mereka baru keluar saat jam makan siang; berdua lagi. Seolah sedang sengaja memanas-manasi Sabine yang memang tak bisa menyembunyikan perasaan terlukanya.
"Aku sudah pernah mengatakannya. Kamu tidak akan punya kesempatan," celetuk Della selangkah kedua orang itu tak terlihat lagi.
"Siapa yang minta pendapat kamu?" balas Sabine ketus.
Della tertawa. "Sebaiknya kamu melakukan tugas bersih-bersihnya mulai sekarang, Sabine. Jangan istirahat sebelum kamu menyelesaikannya," perintah perempuan menyebalkan itu sebelum ia berlalu dengan tawanya yang penuh hinaan. "Setelah jam makan siang masih ada rapat penting."
Sabine benci padanya; tapi ia lebih benci pada dirinya sendiri yang kembali menangis. Untuk apa menangis karena kebodohan sendiri? Seharusnya ia menghentikan dirinya tapi ia tidak melakukannya dan malah berharap pada sebuah harapan kosong. Hanya karena ia percaya lelaki itu akan benar-benar memandangnya sebagai seseorang. Tapi, nyatanya di sisinya sudah ada seseorang seperti Laura yang membuat harapan itu kian tak masuk akal.
"Kenapa kamu bicara begitu?" suara-suara terdengar samar dari luar saat Sabine akhirnya masuk ruangan dan melakukan tugasnya.
Pintu terbuka; Laura dan Harish kembali. Entah apa yang membuat mereka datang lagi padahal mereka baru saja keluar sekitar lima belas menit lalu. Sabine yang kebingungan dan panik, telah berada di balik meja kerja Harish dan berharap lelaki itu tidak kembali ke kursinya lalu menemukan bahwa ia telah bersembunyi seperti pencuri.
"Ini semua tidak akan terjadi kalau kamu yang mengambilkannya untukku," kata Laura dengan suaranya yang enak di telinga.
"Apa?" celetuk Harish. Ia berdiri di pintu, terlihat agak jengkel. "Kenapa aku harus melakukannya?"
"Tentu saja karena aku juga sudah melakukan semuanya untuk kamu," balas Laura; bahasanya begitu percaya diri. Ia melangkah dengan cepat dan langsung mengambil tas kecil yang berada di atas sofa tamu. "Mulailah dari hal yang kecil, Harish."
"Aku tidak mungkin melakukan hal-hal semacam itu," celetuk Harish lagi, masih terdengar gusar. Lalu membuka pintu selagi Laura kembali padanya.
"Kamu sama sekali tidak seru," gerutu Laura.
"Apa kamu sudah selesai?" tanya pria itu, menahan pintunya dan menunggu Laura datang.
Tapi, saat wanita itu sampai ke hadapannya, ia malah kembali menarik Harish ke dalam. Pintu yang terbuka menutup sendiri dengan bunyi keras.
Sabine yang di bawah meja terkejut. Sempat mengira bahwa keduanya sudah pergi karena pintunya tertutup. Sambil mengatur nafas ia berusaha menenangkan diri, sebelum ia keluar dari bawah meja untuk melanjutkan sisa pekerjaannya.
Namun apa yang ia lihat kemudian di depan pintu sungguh membuatnya hampir mati berdiri; terkejut, syok, dan berikutnya nyeri di dada. Udara seakan menipis di sekitarnya; beberapa saat sulit bernafas. Kedua orang itu memperlihatkan apa yang paling tak ingin ia lihat selama ini –sebuah kemesraan yang tampak seperti sebuah mimpi buruk paling mengerikan.
Mereka tengah berciuman tepat di depan pintu.
Reminder:
Kalian bisa baca semua novelku di blog untuk pengalaman membaca tanpa iklan video wattpad yang terlalu lama saat peralihan chapter. (LINK BLOG ADA DI PROFIL -tinggal klik aja)
Update chapter di blog lebih cepat karena aku mempunyai lebih banyak pembaca di sana.
Jangan lupa VOTE dan COMMENT nya untuk bantu cerita ini naik ya. Dukungan kalian sangat berarti, sekecil apa pun itu. Thanks
KAMU SEDANG MEMBACA
MY EVIL BOSS : HE TAKES IT ALL (New Version)
Romance[21+] "Laki-laki pertama tidak selalu jadi yang terakhir. Siapa peduli? Jadi apa yang kamu takutkan? Kita hidup di dunia yang seperti itu. Malam ini dengan si A, besoknya dengan si B. Tahun ini pacaran dengan si C, tahun berikutnya dengan si D, si E...