"Sekarang ceritakan apa yang membuat kamu ingin sekali mati? " tanya Jessica setelah dia menjelaskan sedikit tentang dirinya. "Mana tahu aku bisa bantu."
Jessica Sara seorang gadis dua puluh empat tahun yang harusnya kuliah, tapi dia tidak bisa karena harus bekerja demi adik semata wayangnya yang masih sekolah. Dia juga sudah memastikan bahwa untuk melanjutkan sekolah baginya, hanya tinggal impian. Dia sudah bisa menghasilkan uang yang cukup untuk adik dan gaya hidupnya. Tapi, apa pekerjaan yang dia lakukan masih menjadi misteri; yang jelas dari penampilannya, pasti itu sesuatu yang akrab dengan dunia malam.
Sabine masih tertunduk ragu-ragu. Sementara Jessica menunggu jawaban sambil menghisap rokok di antara kedua jarinya yang dicat ungu –dengan nail art permata yang tampak berkilauan setiap kali dia menggerakannya.
"Orang tua kamu bercerai?" dia bertanya lagi; sepertinya bertambah penasaran.
Sabine menggeleng dengan sangat pelan; sulit untuk menjelaskannya. Tapi, sudah lama ia tidak punya teman untuk bercerita dan berkeluh kesah.
"Ibu dan kedua adikku... meninggal dunia karena kecelakaan tahun lalu. Papa-ku bangkrut. Kamu tahu... kehidupanku sudah tidak sama lagi sejak itu...."
Jessica hanya menghembuskan asap putih dari mulut dan hidungnya secara bergantian; seolah dia sedang bermain-main dengan itu.
Sabine masih tertunduk memandangi makanan yang ada di depannya –dimsum; sesuatu yang biasa ia makan bersama keluarganya, ketika semuanya masih utuh dan ini adalah kesukaannya. Sayangnya sang ibu melarangnya makan terlalu banyak karena seorang penari balet harus menjaga berat badannya tetap stabil. Pernah Sabine menghabiskan dua kali lebih banyak dari porsi yang seharusnya diam-diam supaya tidak ketahuan Mama-nya. Tapi sekarang itu malah hanya membuatnya sedih; rasa lapar yang tadi sempat menggerogoti perut, sekarang hilang bahkan ia belum makan atau minum apa pun sejak mereka duduk di restoran ini.
"Aku tahu kehilangan orang yang dicintai itu berat. Tapi, itu bukan alasan untuk ikut mati juga," kata Jessica lagi. "Kamu pikir di neraka sana, kalau kamu bertemu dengan Ibu dan adik-adik kamu, kalian bisa berpelukan sambil terharu seperti di film drama karena lama tidak bertemu?"
Sabine mengangkat kepalanya; sedikit kesal dengan perkataan Jessica.
"Kamu tidak tahu rasanya ditinggal oleh orang-orang yang tidak akan pernah bisa kamu lihat lagi...," gerutunya. Sabine juga bahkan menyaksikan kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri.
Jessica terkekeh."Orang tuaku dua-duanya sudah meninggal. Yang satu bunuh diri, yang satu lagi overdosis. Kamu mengerti? Masih mau membandingkan hidup siapa yang lebih tragis?"
Lagi-lagi Sabine terdiam. Mungkin karena itu dia menghentikannya saat Jessica mengira Sabine akan melompat dari jembatan. Dia punya pengalaman buruk dengan orang yang ingin mengakhiri hidupnya.
"Kamu harus berhenti merasa tidak berguna tanpa ibu kamu. Kamu pikir dia juga ingin anaknya bunuh diri? Coba pikir. Kalau tidak begitu, kenapa kamu saja yang selamat dari kecelakaan? Pasti ada alasannya kenapa justru kamu yang hidup."
"Menurut kamu kenapa?" Sabine hampir menangis lagi
"Bisa saja kamu ditakdirkan untuk sesuatu yang besar karena kamu kuat. Masih hidup sampai sekarang untuk orang yang mengalami kehilangan tragis seperti itu termasuk hebat."
Perasaan Sabine sedikit lebih lega. Ternyata dia tidak seperti kelihatannya. Jessica menjentikan abu rokoknya di atas asbak keramik hitam berbentuk kotak di atas meja; dia frontal tapi keren.
"Orang tuaku dua-duanya beracun. Setelah mereka meninggal aku baru bisa bebas seperti yang aku inginkan dan melanjutkan hidup dengan cara yang jauh lebih baik."
Melanjutkan hidup? Aku? Bisakah?
Sabine bisa merasakan kegetirannya –jari-jari tangannya yang sedang mengapit rokok yang hampir habis itu tampak sedikit gemetar.
"Jadi, Sabine, tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Kenapa kamu terus saja memikirkan kalau mati semua masalah selesai? Yang selesai cuma nyawa kamu, tapi tidak dengan masalahnya."
Jessica terasa benar saat Sabine merasa dirinya begitu bodoh dan tak tertolong.
"Umur kamu berapa sekarang?"
"Jalan delapan belas. Kenapa?"
"Sudah delapan belas tahun kamu harusnya belajar menyelesaikan masalah sendiri. Kalau aku jadi kamu, Bin, kalau ada orang yang menyakitiku, pasti akan aku balas. Aku dipukul sekali, aku akan membalasnya berkali-kali sampai orang itu tidak bisa membalasku lagi."
"Apa yang harus aku... lakukan sekarang?"
Semua jalan tampak buntu di hadapannya. Tak ada lagi hal yang ia sukai yang bisa ia lakukan untuk menyenangkan dirinya. Dulu balet adalah pelarian; hanya itu yang bisa ia lakukan dengan sempurna walau bagi orang lain itu tak cukup bagus. Tapi, Papa-nya ingin Sabine berhenti balet; menurutnya itu membuang-buang uang. Tidak ada orang yang bisa bertahan hidup menjadi penari dengan tetap 'berjalan lurus'. Rawan pelecehan –kejadian dengan si manajer itu sudah membuktikan yang ia katakan benar, makanya dia tidak mau datang ke sana untuk menyelesaikannya. Bagi sang ayah balerina bukanlah profesi yang menjanjikan karena sekarang mereka jatuh miskin.
Merelakan impian karena kesalahan yang tidak pernah ia lakukan masih menghantuinya. Ada sesuatu di dalam dirinya yang begitu marah namun tak bisa ia ungkapkan.
"Kehidupan kamu yang lama tidak akan pernah kembali, kecuali ada keajaiban. Sekarang, kita tidak boleh mengharapkan keajaiban terlalu sering. Yang harus kamu lakukan sekarang hanya menerima keadaan. Itu yang lebih penting. Ini... adalah keadaan yang tidak bisa kamu rubah sekalipun kamu mencobanya dengan keras. Karena ini... sudah seharusnya terjadi. Kamu mengerti?"
Perkataan Jessica membuatnya berpikir sangat lama.
"Ada lima tahap berduka. Mengingkari, menyendiri, marah, tawar menawar, depresi dan menerima," kata Jessica kemudian dengan tenang. "Kita harus melalui semua tahap itu untuk melanjutkan hidup. Yang pergi tidak akan kembali."
Jessica duduk di depannya; minum dan merokok tanpa bicara begitu Sabine mengambil sumpit yang sedari awal tergeletak di sisi bakul dimsum yang sudah dingin. Lalu mengambil satu dan langsung memasukannya ke mulutnya bulat-bulat. Rasanya lembut dan enak. Ia memasukan satu lagi ke mulutnya sampai tidak ada lagi yang tersisa di bakul itu dan kemudian meneguk habis sebotol air.
Bakul dimsumnya telah kosong; Sabine menaruh sumpit di sisinya
"Setelah rasanya kamu benar-benar bisa menerima nasib kamu yang sekarang, hidup ini akan jadi lebih sulit. Tapi, itulah yang namanya tumbuh dewasa," ujar gadis itu lagi.
Melihat senyum di bibir tipis Jessica yang merah seolah mengisyaratkan walaupun hidup ini akan jadi lebih sulit begitu kita jadi dewasa, itu tidak akan begitu buruk.
"Tapi, kita tetap harus balas dendam," sambung dia dengan seringai di bibir cantiknya –mengingatkan Sabine pada Denise.
Sebuah rencana balas dendam langsung terbesit di pikiran Jessica begitu Sabine menceritakan apa yang terjadi padanya di Eloise. Jessica terlihat bersemangat. Mereka sangat yakin korban Jonny bukan hanya Sabine. Bagi Jessica, dari sekian banyak jenis orang jahat di dunia, pemerkosa adalah yang paling ia benci; apalagi seorang pedofil. Seolah ia punya pengalaman buruk tentang itu.
Reminder:
Kalian bisa baca semua novelku di blog untuk pengalaman membaca tanpa iklan video wattpad yang terlalu lama saat peralihan chapter. (LINK BLOG ADA DI PROFIL -tinggal klik aja)
Update chapter di blog lebih cepat karena aku mempunyai lebih banyak pembaca di sana.
Jangan lupa VOTE dan COMMENT nya untuk bantu cerita ini naik ya. Dukungan kalian sangat berarti, sekecil apa pun itu. Thanks
KAMU SEDANG MEMBACA
MY EVIL BOSS : HE TAKES IT ALL (New Version)
Romance[21+] "Laki-laki pertama tidak selalu jadi yang terakhir. Siapa peduli? Jadi apa yang kamu takutkan? Kita hidup di dunia yang seperti itu. Malam ini dengan si A, besoknya dengan si B. Tahun ini pacaran dengan si C, tahun berikutnya dengan si D, si E...