Ch. 6 - SNOWBALL

504 26 0
                                    

November 2013....

Sabtu pagi yang agak mendung, truk pengangkut barang datang. Sabine masih menolak untuk pergi dengan merampas kembali semua yang sudah masuk ke dalam kardus.

"Jangan dibawa!" teriaknya bersikeras pada orang yang mengangkat kardus-kardus itu ke truk.

"Maaf, Dek, kami hanya menjalankan perintah dari Pak Yohan," kata mereka setengah memohon agar Sabine berhenti mengganggu pekerjaan mereka. "Pekerjaan ini harus selesai sebelum jam dua belas."

"Aku tidak peduli. Aku tidak mau pindah!" teriak Sabine lagi menarik kardus itu sekuat tenaganya dengan gegabah. "Turunkan!"

Akhirnya isi kardus itu berhamburan di lantai karena penutupnya sobek dan si pekerja tidak cukup kuat menahan tarikan Sabine yang nekat. Ternyata itu kardus mainannya Robyn; dan sesuatu telah pecah di lantai –snowball penyihir kesayangannya. Dengan panik Sabine meraih benda itu dan kembali menangisinya, juga beberapa mainan lainnya yang sepertinya patah. Padahal hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas; Sabine sepertinya lupa dengan tanggal karena ia terlalu sedih.

"Sudahlah, Sabine," kata Pak Rudy yang datang menghampirinya saat gadis delapan belas tahun itu memeluk mainan adiknya dan tak pernah mau beranjak sedikit pun dari tempat ia menangis selama berjam-jam. "Kita semua harus melanjutkan hidup. Ini juga bukan sesuatu yang diharapkan Mama kamu."

Melanjutkan hidup?

Bagaimana aku tahu apa yang diharapkan Mama-ku sementara dia sudah pergi?

"Mana Papa?" tanya Sabine padanya; matanya merah dan sembab, wajahnya juga pucat.

Teringat sejak ayahnya pulang membawa sepasang suami istri yang membeli rumah ini, Sabine tidak pernah melihatnya lagi. Sang ayah seolah telah pindah dari rumah ini hari itu juga. Pak Rudy mengatakan bahwa menjual rumah ini juga keputusan yang berat baginya. Tapi, itu harus dilakukan agar mereka bisa bertahan hidup.

Pak Rudy tidak menjawabnya. Dia hanya meminta semua pekerja untuk tidak ragu-ragu menaikan semua barang-barang yang tersisa ke truk. Sementara Sabine masih meratap di lantai bersama snowball milik Robyn yang telah pecah.

Saat semua barang sudah naik ke truk; lewat dari waktu yang ditargetkan, adalah giliran Sabine untuk benar-benar mengucapkan selamat tinggal. Pak Rudy memberinya waktu sebentar. Tapi, Sabine tidak mau beranjak dari sofa di mana ayahnya biasa memandangi foto keluarga mereka –yang kini hanya dinding putih kosong. Sabine duduk diam di sana, memaku kedua kakinya di lantai, masih dengan mainan kesayangan Robyn.

Di luar hujan turun lebat, seakan tahu ini hari yang paling menyedihkan baginya. Pak Rudy masih menunggunya selesai, tapi Sabine masih bersikeras untuk tetap tinggal tak peduli apa pun yang terjadi sampai ayahnya datang ke sini. Sabine hanya ingin bertemu dengannya; dia seharusnya ada di sini.

"Ya, Pak, baik...," suara Pak Rudy terdengar samar-samar di belakang sana; Sabine menoleh padanya dan melihatnya sedang menelepon.

Sabine menggenggam snowball Robyn makin erat dan tak peduli sisa-sisa kacanya yang masih menempel melukai tangannya. Air matanya merembes lebih deras, karena ia tahu tidak akan ada perpanjangan waktu lagi. Sabine menatap dinding kosong itu lagi dengan sendu.

"Mama...," panggilnya dengan sedih entah pada siapa. "Aku tidak mau pergi...."

Saat itulah ia merasakan kedua tangannya di tarik dan tubuhnya diseret dari sofa. Sabine menjerit keras-keras saat snowball Robyn terlepas dan jatuh di lantai; dan darahnya mengotori karpet putih di atasnya. Dua orang menyeretnya keluar dari rumah, disaksikan Pak Rudy yang hatinya ikut terluka harus melakukan hal itu terhadap anak majikannya yang juga ia sayangi seperti putrinya sendiri.

Pak Rudy tahu betapa terlukanya Sabine tidak hanya atas kehilangannya, namun juga sikap sang ayah yang semakin dingin dan ketus padanya. Karena dia juga mempunyai seorang anak perempuan yang begitu ia sayangi. Melihat Sabine, ia tak tega. Tapi perintah adalah perintah. Namun begitu ada hal lain yang membuat Pak Rudy seakan ingin ikut menangis karenanya.

"Mamaaaaaa!!!" Sabine memekik lagi seperti kesakitan; sekeras yang ia bisa dalam hujan deras di halaman depan sebelum orang-orang suruhannya melemparnya ke mobil yang langsung melaju begitu pintunya ditutup.

Sabine masih meronta memukul-mukul kaca belakang.

"Pak Rudy!" panggilnya dan tampak berharap Pak Rudy menghentikan supir itu membawanya pergi.

Tapi, Pak Rudy malah kembali ke dalam; mengabaikannya.

Itu terakhir kalinya Sabine melihat Pak Rudy. Hal yang berikutnya Sabine lihat dalam kesedihan dan keputusasaan itu adalah House of Roses dengan tidak rela; dia tidak akan pernah bisa merelakannya menjadi milik orang lain.

Lalu berjanji, suatu saat nanti ia akan kembali; bagaimana pun caranya.

Aku harus mendapatkannya kembali!

***

Reminder:

Kalian bisa baca semua novelku di blog untuk pengalaman membaca tanpa iklan video wattpad yang terlalu lama saat peralihan chapter. (LINK BLOG ADA DI PROFIL -tinggal klik aja)

Update chapter di blog lebih cepat karena aku mempunyai lebih banyak pembaca di sana.

Jangan lupa VOTE dan COMMENT nya untuk bantu cerita ini naik ya. Dukungan kalian sangat berarti, sekecil apa pun itu. Thanks

MY EVIL BOSS : HE TAKES IT ALL (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang