Sepuluh Januari, peringatan empat tahun kematian ibu dan adik-adiknya. Sabine membawakan bunga lili dan mawar merah. Namun, saat ia baru tiba, ia menemukan seseorang sedang menaruh bunga di nisan sang ibu.
Seorang wanita asing yang langsung menoleh padanya.
"Diana?" tegur wanita itu.
Sabine hanya terdiam saat mendengar nama ibunya di sebut di saat yang sama wanita itu langsung menyadarinya.
"Maaf... kamu... benar-benar mirip dengan Diana," katanya.
Semua orang memang berkata begitu, kata Sabine dalam hati tersenyum hampa lalu menundukan kepala. Ia menangis lagi.
Wanita itu tersenyum.
"Kamu sudah besar ya...," katanya lagi. "Dulu kamu masih kecil saat kita bertemu. Waktu itu kamu belum punya adik."
Benarkah?
"Oh iya, Tante teman lama ibu kamu," dia menjelaskan siapa dirinya sementara Sabine hanya menatapnya dengan lesu. Ia juga mengulurkan tangannya dengan senang hati.
Sabine berusaha untuk memberinya senyum terbaik yang bisa ia tunjukan tapi tak tahu apakah itu cukup tulus; suasana hatinya buruk seperti cuaca yang agak mendung. Kesedihannya terlihat jelas dari rautnya hingga wanita itu menyadarinya.
"Apa kamu tidak apa-apa? Kamu kelihatan pucat," wanita itu berkata saat Sabine melewatinya untuk menaruh bunga di batu nisan ibu dan adik-adiknya.
"Aku tidak apa-apa, Tante," jawabnya.
Wanita itu juga membawakan bunga mawar merah; kesukaan sang ibu. Seperti memberi tanda bahwa dulu mereka memang pernah sangat dekat. Tanpa menunggu wanita itu pergi, Sabine langsung menangis.
Tiba-tiba wanita sudah berada di dekatnya dan langsung menyandarkan Sabine di bahunya yang menangis sesenggukan tanpa bisa mengungkapkan apa yang sedang berkecamuk di dalam hati dan kepalanya. Wanita asing itu terus menepuk-nepuk bahunya dengan pelan sampai kemudian Sabine berhenti menangis.
"Kamu bisa cerita ke Tante kapan saja kalau kamu mau," kata perempuan itu setelah Sabine menenangkan dirinya. "Jangan anggap Tante orang lain, Sabine."
Sabine memang tidak punya ingatan tentang seseorang bernama Esther yang pernah berteman dengan Sang Mama. Selain karena ibunya tidak punya pertemanan yang cukup luas dan benar-benar menjadi seorang ibu rumah tangga yang hari-harinya ia habiskan untuk mengurus keluarganya, ia tidak pernah menceritakan tentang temannya yang bernama Esther.
Kenapa dia baru muncul sekarang setelah sekian lama?
"Kamu mau pulang sekarang? Bagaimana kalau kita sama-sama keluar dari sini?" ajaknya.
"Makasih, Tante. Aku pulang sendiri saja tidak apa-apa," jawab Sabine sedikit apatis.
"Jangan begitu, Sabine. Tante tidak bisa membiarkan kamu begitu saja," ujarnya. "Ayo Tante antar pulang. Rumah kamu di mana?"
Sabine menatap langit mendung di atas kepalanya yang tampak sama menyedihkannya dengan dirinya yang muram. Lalu kembali menatap wanita asing yang ramah itu dan kemudian mengangguk. Sabine pun mengikuti langkahnya menuju keluar area pemakaman. Ternyata dia datang dengan mengendarai mobilnya sendiri; berbeda dengan ibunya yang tidak bisa menyetir dan seumur-umur hidup dengan mengandalkan supir pribadi.
"Jadi kamu tinggal sendiri?" ia mengajak Sabine mengobrol dalam perjalanan pulang yang hampir hening.
Sabine mengangguk.
"Kamu bekerja?"
"Iya, Tante."
"Tante kira kamu mahasiswa."
"Seharusnya, tapi aku lebih ingin hidup mandiri daripada kuliah...."
"Keputusan yang bagus. Kamu kerja di mana?"
"Cuma kerja di kantor biasa, Tante."
Wanita itu mengangguk-angguk; lalu melirik Sabine sejenak. Ia tersenyum lagi. "Kamu benar-benar mirip Mama-mu," katanya senang. "Tadi saat Tante lihat kamu, Tante kira kamu adalah Diana. Persis sekali."
Sabine hanya tersenyum kecut.
"Tapi, memang, dulu waktu masih muda Mama-mu disukai banyak laki-laki," katanya lagi. "Kamu juga pasti begitu bukan?"
"Tidak juga, Tante," balas Sabine datar sambil mengedarkan pandangan pada apa yang bisa ditemukan oleh matanya yang menatap kosong.
Lalu Esther diam dengan ekspresi yang tidak lagi sama; sedikit murung. "Pokoknya dari SMA sampai kuliah, Mama-mu selalu jadi rebutan."
Sabine langsung menoleh padanya dengan cukup terkejut. "Tante dan Mama berteman dari SMA?" tanyaku sedikit penasaran.
"Ya, kita bertemu di SMA. Tapi, setelah itu masuk ke kampus yang berbeda," jawabnya.
Mama hampir tidak pernah menceritakan masa lalunya. Tidak pernah menyinggung teman-temannya. Jika mengingat sosoknya yang tenang dan anggun, kepribadiannya mengingatkan Sabine pada sosok wanita baik-baik dan terhormat di film-film. Dari cara berpakaian dan berdandan, Mama adalah sosok wanita yang sempurna. Terlebih dia memang berwajah cantik. Di sekolah, orang-orang hampir selalu memperhatikannya dan ketika ia menggandeng Sabine, mereka akan memuji bahwa mereka adalah ibu dan anak yang beruntung. Akan tetapi kadang dia merasa tidak nyaman dengan pujian berlebihan dari orang-orang.
"Kenapa Tante dan Mama tidak pernah bertemu lagi?" akhirnya Sabine menanyakan itu.
Esther menghela nafas. "Saat kita masih muda kita benar-benar menyangka bahwa hal-hal yang menyenangkan akan berlangsung selamanya, tapi begitu kita dewasa kehidupan menjadi sedikit rumit. Beberapa orang mungkin masih tetap bersama dan menjaga persabahatan dalam jarak jauh, tapi ada juga yang harus pergi dan melanjutkan hidup. Dunia kadang-kadang membuat kita harus melakukan apa yang tidak ingin kita lakukan, Sabine," jelasnya. "Seperti itu pula Tante dan Mama-mu. Kita hanya fokus dengan hidup masing-masing. Umur dua puluh lima Tante menikah dan Mama-mu mengejar karir baletnya."
Sayangnya karir balet sang ibu berakhir karena cedera oleh kecelakaan pada penampilan terakhirnya di Moskow. Lalu menikah pada usia tiga puluh empat tahun dengan sang ayah yang berusia lima tahun lebih muda. Dua tahun kemudian Sabine lahir pada 1996. Dua anak lagi pada 1998 dan 2002 dengan kehamilan beresiko di mana ibunya pernah hampir tidak selamat.
Setelah menjadi seorang ibu ia benar-benar menjadi seorang wanita yang fokus pada keluarganya. Namun, kemudian melihat potensi pada putri sulungnya, ia menaruh impiannya yang belum tercapai di pundak Sabine. Dan sekarang impian itu telah terkubur bersamanya di dalam peti mati.
"Ya, kadang-kadang ada hal yang menjengkelkan juga," dia berujar dengan sedikit tawa di bibirnya. "Oh ya, bagaimana dengan kamu? Sekarang kamu punya pacar?"
Pertanyaan yang membuat Sabine hampir meneteskan air mata lagi. "Tidak, Tante," jawabnya datar.
"Kenapa? Gadis secantik kamu tidak mungkin tidak punya pacar," godanya.
Sabine diam; hal-hal yang menggeliat di kepalanya saat ini bukan sesuatu yang bisa diungkapkan kepada orang yang baru dikenal, meskipun tampaknya Esther benar-benar baik.
***
Reminder:
Kalian bisa baca semua novelku di blog untuk pengalaman membaca tanpa iklan video wattpad yang terlalu lama saat peralihan chapter. (LINK BLOG ADA DI PROFIL -tinggal klik aja)
Update chapter di blog lebih cepat karena aku mempunyai lebih banyak pembaca di sana.
Jangan lupa VOTE dan COMMENT nya untuk bantu cerita ini naik ya. Dukungan kalian sangat berarti, sekecil apa pun itu. Thanks
KAMU SEDANG MEMBACA
MY EVIL BOSS : HE TAKES IT ALL (New Version)
Romance[21+] "Laki-laki pertama tidak selalu jadi yang terakhir. Siapa peduli? Jadi apa yang kamu takutkan? Kita hidup di dunia yang seperti itu. Malam ini dengan si A, besoknya dengan si B. Tahun ini pacaran dengan si C, tahun berikutnya dengan si D, si E...